Seorang siswa SMP pernah mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku saat pelajaran agama. “Pak, sebenarnya apa yang menjadi garansi seseorang dapat masuk surga? Agamanya atau imannya?” saya kenal betul siswa ini. Dia belum memeluk satu agama pun karena orang tuanya berpikir agama merupakan urusan pribadi. Dia bisa menentukan sendiri agamanya bila sudah mantap untuk memilih agama mana yang akan dianutnya.
Karena itu saya tidak ingin memberi jawaban spontan yang terlalu dangkal. Bila saya memberi jawaban iman, sebagaimana mestinya dijawab begitu, maka ia akan semakin sumringah karena dengan begitu orang tidak harus beragama. Yang berarti sama dengan mengukuhkan pendiriannya saat ini. Agama hanya membuat orang terkotak-kotak karena masing-masing agama cendrung menonjolkan perbedaannya daripada kesamaannya. Karena itu baginya beriman saja sudah cukup.
Sedangkan bila saya memberi pilihan jawaban pada agama. Maka ia malah akan semakin ngakak terbahak-bahak. Karena dia punya bukti-bukti otentik yang dapat memperlihatkan secara gamblang rentetan orang-orang beragama yang sangat mungkin tidak dapat masuk surga karena mereka secara sadar melakukan perbuatan-perbuatan yang justru dilarang oleh agama mereka sendiri. Ambil sebagai contoh, pembunuhan , korupsi, manipulasi/penipuan, aborsi, saling menghujat, saling membenci, iri hati, dendam dan lain sebagainnya.
Akhirnya saya mulia menjawab dengan memberikan anologi ini. Hidup ibarat ziarah panjang menuju satu titik akhir. Iman adalah keyakinan dasar manusia bahwa titik akhir itu adalah kembali pada Sang Khalik, Penciptanya. Agama ibarat jalan yang dapat menghantar orang pada tujuan akhir itu. Bagaimana mungkin orang dapat sampai pada tujuan kalau tidak melewati sebuah jalan? Agama karenanya, dapat dilihat sebagai condition sine qua non untuk mencapai sang pencipta.