ALLELUYA DI TENGAH
PARA KORBAN
Pengantar
Merayakan paskah berarti merayakan kemenangan. Nyanyian
Alleluya yang dikumandangkan di setiap perayaan paskah; dan selanjutnya di
setiap hari Minggu, sesungguhnya merupakan letupan gegap gempita sebuah kemenangan. Kemenangan karena memang
ada yang telah dikalahkan, yaitu penderitaan dan kematian. Jadi seruan Alleluya
itu adalah klimaks dari tese-tese panjang perjalananan melintasi penderitaan.
Namun terkadang symphoni Alleluya ini, digubah begitu meriah sehingga membuat
orang tercengang dan segera melupakan jalan derita yang mengantarnya pada
puncak kemenangan itu. Apalagi ketika symphoni Alleluya itu dinyanyikan di
tengah sebuah dunia yang sangat mengagungkan kemenangan. Nyanyian alleluya akan
segera menjadi ‘obat bius’ yang akan dengan mudah membawa orang melayang di
awan-awan walaupun sesungguhnya kakinya masih menyentuh bumi.
Sejarah hidup manusia, memang, selalu merupakan sejarah
kemenangan. Bahkan sejarah yang memihak orang-orang yang menang. Hanya orang-orang
yang menanglah yang selalu dikenang dalam sejarah. Oleh karena itu semua orang
selalu berpacu untuk merebut kemenangan. Semua orang ingin menunjukan bahwa ia
lebih berkuasa dari orang lain. Ia lebih unggul dari orang lain.
Konsekuensi dari sejarah kemenangan adalah korban;
orang-orang yang menderita kekalahan karena tidak berdaya melawan orang yang
lebih kuat. Apakah korban-korban ini masih mempunyai tempat dalam sejarah dunia
yang sangat mengagungkan kemenangan? Dalam hubungannya dengan paskah; bagaimana
kita dapat menyerukan Alleluya di tengah suasana kekalahan? Bukankah malah akan
terdengar sangat ironis, sarkartis, kontradiftif? Alleluya selalu identik dengan kemenangan, bukan? Sepertinya ada
perasaan puas yang dipaksakan sehingga yang kemudian muncul malah perih yang
menyayat sekali. Jadi, persoalan kita sekarang adalah bagaimana mengajak para
korban menyanyikan Alleluya dalam suatu paradigma baru yang tidak menyinggung
perasaan atau menyepelekan keadaan derita mereka? Untuk menjawab persolaan ini
saya akan coba menelusuri teologi pengharapan Jürgen Moltmann untuk sedikit
memberi terang pada makna kebangkitan atau nyanyian Alleluya bagi para korban.
Alleluya Dalam
‘Partitur’ Jürgen Moltmann[i]
Menurut Moltmann, kebangkitan tak dapat dipikirkan tanpa
melatarinya pada peristiwa salib. Sebab kebangkitan adalah sebuah peristiwa
yang sekaligus mau memperkenalkan siapa yang mati di salib. Dari kebangkitanlah
dinyatakan kepada dunia bahwa yang mati di salib adalah Putra Allah. Moltmann
memberi makna pada dua peristiwa besar dalam kehidupan Yesus ini dengan
menempatkannya dalam dua periode waktu, yakni masa kini dan masa yang akan
datang. Kebangkitan Kristus adalah antisipasi dari Allah yang akan datang; yang
mampu mengalahkan maut dan kematian. Sedangkan kematian Kristus di salib adalah
realitas Allah untuk kita saat kini. Allah di tengah dunia yang tidak abadi,
yang mematikan.
Dengan memusatkan perhatian pada peristiwa Golgota, Moltmann
merefleksikan Allah yang menderita ini, dalam persitiwa Allah Trinitas. Dari
atas salib, Putra Allah berseru dengan suara nyaring; “Eli, Eli Lama Sabaktani?
Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” inilah teriakan seorang
Putra yang merasa telah ditinggalkan Bapaknya, justru pada saat Ia sangat
membutuhkan kehadiran Bapaknya. Karena Yesus adalah Puatra Allah, maka kita
melihat di sini Allah yang telah disalibkan. Allah yang menderita dan wafat.
Hanya Allah yang menderita adalah Allah yang dapat dipercaya dan sekaligus
Allah yang mencinta.
Senja di Golgota juga menjadi begitu penting dalam sejarah
umat manusia, karena dalam ke-ilahian-Nya yang menderita, Allah melepaskan
atribut atau sebutan-sebutan tradisional-Nya,[ii]
dan ‘minum’ sampai ketegukan yang terkahir, keputusasaan yang menyayat hati dan
penderitaan kematian yang mendalam sekali. Sampai di sini kita mungkin bertanya; kalau
Allah menderita bukankah penderitaan sudah tidak dapat lagi dibungkamkan
seluruhnya pada-Nya? Apakah para korban masih dapat ditolong oleh Allah yang
lemah dan menderita?
Penderitaan Allah tentu tidak dapat dipikirkan sama seperti
penderitaan manusia. Bagi Moltmann, Allah yang tersalib, Allah yang tak berdaya
dan menderita laksana cermin yang menunjukkan kepada dunia wajah dunia itu
sendiri yang sebenarnya. Moltmann menulis, “pada salib akan terungkap dan
tampak jelas keterjauhan semua mahluk dan dunia dari Allah, dan salibpun
menunjukan kenyataan belum terpenuhinya kerajaan Allah di dunia, dimana segala
sesuatu akan memperoleh hak; kehidupan dan kedamaian.” Jadi, allah yang
menderita mau menunjukan keterlibatan Allah yan sungguh-sungguh dalam kehidupan
manusia. Allah yang sungguh-sungguh solider dengan nasib manusia. Dengan
masuknya Allah dalam situasi paling kelam dalam kehidupan manusia ini, Allah
mau menyelamatkan manusia. Dengan kata lain, tidak ada lagi tempat yang
demikian kelam bagi manusia karena telah diterangi oleh Allah sendiri. Dan
terang itu muncul secara sangat nyata dalam peristiwa kebangkitan Yesus.
Namun kenyataan kemulian kebangkitan manusia yang telah kian
pasti dijamin sendiri oleh kebangkitan Kristus ini masih merupakan suatu
eskaton, masih akan datang pada jaman parusia. Kebangkitan itu seperti partitur
musik yang masih menanti untuk dimainkan pada suatu waktu, pada suatu ruang
tertentu. Karena kebangkitan Kristus sendiri belum mengakiri segala sesuatu.
Sejarah kekalahan dan penderitaan masih terus berlangsung. Yang kita hadapi
adalah keselamatan dalam tanda salib, keselamatan dalam tanda kehancuran dan
kematian: sub contrario.[iii]
Alleluya Untuk Para
Korban
Mengajak para korban untuk menyanyikan Alleluya dalam suatu
paradigma kemenangan tentulah bukan merupakan suatu tindakan yang
membahagiakan, walaupun ajakan itu akan sangat menghibur dan mungkin sejenak
dapat membuat mereka sedikit melupakan pengalaman penderitaan mereka. Sebab
ketika gegap gempita sorak sorai Alleluya itu berakhir mereka akan kembali
terpekur sendiri dalam situasi aktual yang sedang menggerogoti mereka. Karena
itu paradigma baru yang harus dibangun dalam suasana paskah adalah Alleluya
yang menawarkan harapan. Seruan Alleluya yang demikian harus sungguh-sungguh
didasarkan pada peristiwa salib sebagai jalan keselamatan yang harus ditempuh
siapa saja yang ingin bangkit.
Dasar dari paradigma baru ini adalah peristiwa salib dan
kebangkitan Yesus. Yesus yang tersalib mau menunjukan bahwa Allah hadir dalam
penderitaan, hadir sebagai Allah yang tersalib. Ini berarti Allah adalah Dia
yang menyertai para penderita. Para korban, semua orang yang menderita, adalah
mereka yang hadir dalam penderitaan Allah. Dengan demikian para korban tidak
sendirian dalam penderitaannya.
Yesus yang bangkit mau menunjukan bahwa penderitaan dan
kematian tidaklah abadi. Kebangkitan menjadi tese puncak di mana jalan panjang
penderitaan dan kematian diakhiri. Kebangkitan merupakan masa depan dari
peristiwa salib. Semua penderitaan dalam dunia ini telah terangkum dalam
penderitaan Yesus. Dengan demikian semua penderitaan juga memiliki masa depan
yang sama, yakni kebangkitan di puncak perjuangannya. Di dalam Kristus sebagai
jaminannya, penderitaan akhirnya mempunyai tempat akhir yang pasti, namun
tempat ini masih harus diungkapkan dalam masa yang akan datang; eskaton.
Tempat yang pasti inilah janji Allah. Janji Allah yang menjadi
nyata dalam peristiwa Yesus Kristus ini adalah dasar dari sebuah harapan.
Bahkan inilah dasar dari harapan yang militan; terus berharap kendati di
hadapkan pada ketidakadilan dan absurditas perjuangan di dunia ini. jalan salib
sebagai jalan satu-satunya menuju kebangkitan menjadi jalan yang paling
realistis yang harus diambil, kendati jalan itu terasa berat, tertatih-tatih,
bahkan mungkin harus jatuh dan bangun lagi.
Harapan akan kebangkitan menjadi satu-satunya kekuatan
ketika para korban menghadapi situasi batas di mana segalanya serba tidak
pasti. Karena itu mengajak para korban menyanyikan Alleluya sesungguhnya adalah
untuk menguatkan langkah-langkah mereka dalam perjalanan salibnya di dunia ini
bahwa perjuangan mereka tidak akan berakhir sia-sia. Alleluya di tengah mereka
sekaligus menjadi Alleluya untuk bersama mereka berusaha keluar dari situasi
penderitaan mereka dengan perjuangan yang terus menerus tanpa kenal lelah.
Penutup
Paskah memang merupakan sebuah kemenangan. Namun paskah itu
masih tetap merupakan harapan. Sementara kenyataan yang kita alami, lebih merupakan
sebuah perjalanan antara Golgota dan Kebangkitan.
Oleh: Apheles Hugo
[i] Jürgen
Moltmann adalah teolog Jerman
[ii]
Atribut-atribut itu misalnya Allah pencipta, Allah yang Mahakuasa, Allah yang
mampu mengalahkan maut, dan lain-lain.
[iii]
Sub contrario arti harafiahnya pertentangan antar bagian. Artinya di dalam
kesatuan suatu kalimat itu sesungguhnya ada pertentangan di dalam
bagian-bagiannya. Dalam konteks kalimat di atas, Pertentangan itu muncul dalam
term keselamatan dan tanda salib. Mungkinkah salib yang merupakan bentuk
hukuman itu dapat membawa keselamatan? Menderita tapi selamat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar