mat menyambut Natal dan tahun baru
Kita bisa berubah seturut kata hati yang membawa. gerakan kaki dan tangan pasti punya tujuan. mari melangkah dan menari seturut arahan hati. kemana pergi hanya engkaulah yang tahu. selebihnya biarkan Tuhan yang diam di hati menjadi panduanmu.
Rabu, 19 Desember 2012
Rabu, 28 November 2012
HE IS MY BOY
He is my boy. he take almost my time of intention. but I loved.
sometime, he is so nauthy as child as usual. but i loved.
he is my papers to learn from and my book to read for.
he gives me many meaning full lesson in my life.
he light up my day likes a sun.
he wakes me up in the morning.
and let me have a long night to play with. but I loved.
he is my everything.
Selasa, 27 November 2012
Multos Annos
Panjang umur ya Ma,
bertambah satu tahun lagi usiamu. kami ikut bersyukur.
terutama karena Tuhan Yesus, menjagamu dan kita saat-saat kita melewati
jalan berliku dan terjal dalam derap perjalanan keluarga kita.
kami bersyukur karena Tuhan memberi kami seorang ibu yang bersahaja
tegas dan penuh cinta.
semoga dengan bertambahnya usia, Mama semakin yakin bahwa Tuhan Yesus
selalu setia menciantai kita. dan jangan pernah ragu kalau kami sangat menyayangimu.
amin
Selasa, 06 November 2012
HIDUP INI BERARTI KALAU KITA BERARTI BAGI ORANG LAIN
Semalam saya dan istri saya ke RS dr. Sutomo
Karangmenjangan, menjenguk ketua lingkungan kami yang sedang terbaring sakit di
lorong ruang IRD. Ia telah terbaring dan kehilangan kesadarannya dari pagi hari
dan sampai malam ini, pukul 21.00 WIB belum juga siuman. Ada botol infus
bergantung di dekat tempat tidurnya. Gelembung plastic dan selang oksigen
terpasang di mulutnya. Napasnya cepat dan dalam. Dadanya seperti terguncang
ketika dia harus menarik dan menghembuskan nafasnya. Kami berdoa dan tidak tahu
lagi harus berbuat apa. Aku sarankan ke anaknya supaya terus bercakap-cakap
dengan ibunya walaupun ia belum memberikan respon. Karena ia tetap
mendengarnya. Anaknya coba terus berbisik-bisik di telinga ibunya yang belum
juga terjaga.
Istriku menyarankan untuk segera diberikan minyak suci. Kami
segera menghubungi romo paroki tetapi ternyata semua romo di paroki sedang
berada di luar kota. Akhirnya saya coba menghubungi romo kenalanku. Teman seangkatanku
dulu. Ia pun bersedia datang. Kami menunggu di depan ruang IRD dan beberapa
saat kemudian romo temanku itu pun tiba.
Ia agak kaget ketika kami mengantarnya masuk ke lorong ruang
IRD, dimana ada banyak pasien lain yang diletakan berjejer begitu saja di
lorong itu. Hilir mudik petugas kesehatan dan keluarga pasien menambah hiruk
pikuk di ruangan itu. Sempat terlihat juga beberapa orang polisi yang sedang
mengawal pelaku dan korban kecelakaan. Kami segera menuju ke tempat ibu ketua
lingkungan. Romo mengatakan harus di sini saja? Ya, kami memberi tahu bahwa
memang kami belum diberi kamar. Romo kemudian mengeluarkan stola dan buku
pemberkatan, serta tempat menyimpan minyak suci. Berlima; saya, istri saya,
putra si ibu, ibu yang sakit dan romo, mengawali
doa yang dipimpin romo. Romo kemudian mengolesi minyak di dahi dan kedua
telapak tangan ibu yang sakit. Doa ditutup dengan berkat dari romo. Si ibu
memang membelelakan matanya, tapi masih belum ada respon dari tatapan mata itu.
Romo bertanya-tanya sebentar dengan putra ibu yang sakit dan
kemudian berpamitan. Kami mengantarnya sampai ke parkiran mobil, mengucapkan
terima kasih dan kemudian juga kembali ke rumah kami. Dalam perjalanan pulang
aku terus terbayang akan wajah ibu itu. Masih lekat di mataku, ia yang kurus
dan rentah karena dikuras sakit paru-paru dan jantung yang akut, tetap setia
berjalan membagikan undangan doa lingkungan ke seluruh anggota lingkungannya. Seolah
tak peduli dengan kesehatannya sendiri, ia berkeliling meminta sumbangan untuk
orang miskin di parokiku. Hidupnya hanya
untuk orang lain.
Sabtu, 03 November 2012
TRAIN
Hai Ayah, lagi ngapauin tuh?
Oh, lagi foto aku ya?
sip. SIAPA DI SANA yAH?
Hey, kamu pingin ikut ya?
Selasa, 23 Oktober 2012
H.A.R.T.A
Luk 12:22-34
“Karena di mana hartamu berada di situ hatimu berada” (Luk
12:34).
Orang-orang modern menaruh target tinggi terhadap hidupnya dan merencanakan
hidupnya dengan program-program yang sedemikian pasti sehingga target ini
sedapat mungkin bisa tercapai. Mereka membiarkan diri mereka tengelam dalam
aneka kesibukan yang memungkinkan segala rencana hidupnya dapat berjalan dengan
sempurnah. Segala kekuatan pikiran, kemampuan merasa dan berempati, daya usaha
dan energy rela dihabiskan untuk mencapai yang namanya impian dalam hidup.
Mereka rela menyesuaikan dirinya dengan selera dunia jika itu memang hal
penting yang disyaratkan guna mencapai kesuksesan hidup. Bahkan tak jarang
mereka harus bertarung, mengalahkan dan menyingkirkan orang lain guna menjadi
seorang pemenang karena demikianlah yang dinginkan dunia yang kompetitif. Mereka takut
menjadi seorang pecundang, sebab dunia tidak pernah mencatat sejarah
orang-orang yang kalah. Mereka kuatir
dicampakkan oleh dunia. Mereka takut tidak dianggap oleh orang-orang di sekitarnya
karena tidak mampu menampilkan kwalitas hidup yang tinggi. Dan sekalipun bila
semua impiannya telah tercapai, mereka tetap kuatir kalau-kalau keberhasilan
mereka akan diambil oleh orang lain. “…mereka kuatir akan hidupnya, akan apa
yang akan mereka makan “ (12:22). Mereka kuatir bahwa penampilannya tidak
menarik lagi. Tidak langsing atau indah lagi. “…mereka kuatir akan tubuhnya
akan apa yang hendak dipakai” (12:22).
Karena dimana hartamu berada di situ pulalah hatimu berada.
Tidak ada yang salah mengidamkan harta di dalam hati. Karena dengan demikian
kita punya motivasi untuk mengejarnya dengan sungguh-sungguh. Tetapi harta
seperti apakah yang sesungguhnya harus menjadi target hidup kita. Yesus hari
ini memberi inspirasi positip tentang harta yang tidak dapat menjadi usang,
yang tidak dapat didekati pencuri dan tidak dapat dirusakkan ngengat. Harta itu bukanlah sesuatu yang ditambahkan
dari luar. Melainkan harta yang berasal dari dalam diri. “sebab hidup itu lebih
penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian” (12:23).
Kedamaian sejati dating karena kedekatan dengan Allah, penyerahan diri pada
penyelenggaraan ilahi dan pelayanan pada sesama. Trend hidup modern bukan lagi
semangat untuk saling mengalahkan. You must be the winner. Tetapi we must be
the winner. Semangat win win solusion. Semua menjadi pemenang. Dengan semangat
ini kita mendekati orang lain bukan sebagai lawan melainkan sebagai kawan yang
akan saling membantu untuk sama-sama mencapai tujuan kebahagiaan yang sama. Sebagaimana
dikatakan oleh Santo Vincentius dalam jalan Vincentius: “ mengasihi seseorang
sesungguhnya berarti mengharapkan yang baik bagi orang itu”.
Oleh: Appeles Hugo
Kamis, 11 Oktober 2012
Selasa, 09 Oktober 2012
Sabtu, 06 Oktober 2012
m3nghitung hari
ma, natar lagi aku Ulang Tahun lho. tolong tulisin undangan untuk teman-temanku dong
Ya, ayo kita ke sana, katanya di sana ada gajah!
Weeee, ah burung apa tuh...?
hi, jangan ngintip orang mandi dong
setelah ini ke mana ya?
Ya, ayo kita ke sana, katanya di sana ada gajah!
Weeee, ah burung apa tuh...?
hi, jangan ngintip orang mandi dong
setelah ini ke mana ya?
Jumat, 24 Agustus 2012
Hari terasa lambat ketika memacu waktu bersamanya. melihat dia bertumbuh dalam kekocakkan dan kenakalannya yang menggemaskan, membuat memori tentang dia di masa lalu terasa penuh dengan kesungguhan syukur. tak pernah bisa dibayangkan bagaimana dia yang begitu kecil dulu harus berjuang mati-matian di tabung kaca yang mengurungnya. dan kebesaran Tuhan lagi-lagi menjadi saksi teramat dahsyat bagaimana harapan yang iklas tak pernah berakhir sia-sia.
kini dia bagai rajawali yang tak mau dikekang, bergerak cepat, berlari, terbang ke dunianya. kadang terjatuh dan menangis tapi tak mengapa, ia toh sedang belajar.
kini dia bagai rajawali yang tak mau dikekang, bergerak cepat, berlari, terbang ke dunianya. kadang terjatuh dan menangis tapi tak mengapa, ia toh sedang belajar.
Senin, 21 Mei 2012
PENGUTUSAN DAN PERUTUSAN KE "DUNIA"
Dalam Yoh
14:17 dikatakan bahwa "dunia" tidak dapat menerima Roh Kebenaran
karena tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Ditegaskan selanjutnya bahwa
para murid mengenal Dia sebab ia menyertai mereka dan akan tinggal di dalam
diri mereka. Ayat ini sarat dengan muatan rohani.
Pertama-tama
hendak disoroti bahwa menjadi murid Yesus itu berarti hidup mewaspadai gerak
gerik kekuatan-kekuatan jahat, yakni "dunia". Dalam Injil Yohanes
kata "dunia" (kosmos) dipakai dalam arti seperti itu. (Di dalam
tulisan-tulisan Perjanjian Baru lainnya kata kosmos tampil lebih dalam arti
netral, tempat manusia hidup.) Bagi Yohanes, tempat manusia hidup itu,
dunia, sudah dikuasai kegelapan. Dunia tidak mengenal Sang Sabda lagi
walaupun diciptakan olehNya. Jadi dunia itu menyangkal asal usulnya sendiri dan
dengan demikian mengubah diri menjadi tempat kegelapan, bukan tempat terang
yang diciptakan oleh Sabda pada hari pertama itu. Karena itulah dalam Yoh 14:17
dikatakan dunia tidak bisa menerima Roh Kebenaran. Dunia seperti itu tidak
memiliki kepekaan akan kehadiranNya. Lebih buruk lagi, dunia tidak mengenal
asal usulnya sendiri. Tidak tahu asal serta tujuannya. Ini penderitaan
terbesar. Namun rupa-rupanya dunia yang demikian ini bahkan tidak tahu bahwa
menderita kehilangan persepsi akan asal dan tujuan sendiri.
Semua ini
disodorkan kepada murid bukan untuk mengecam dunia dan menghukumnya, melainkan
agar mengasihaninya dan mencarikan jalan bagi yang ada dalam kegelapan. Dalam
upaya inilah murid-murid akan dikuatkan oleh dampingan Roh Kebenaran dan
bimbingan sang Penolong sendiri. Jadi pengetahuan bahwa sang Penolong datang
itu bukan untuk ditimang-timang belaka dan menjamin rasa aman sendiri,
melainkan agar diamalkan demi kembalinya dunia kepada terang. Jadi ada
pengutusan (=perihal mengutus) dan perutusan (hal-hal bersangkutan dengan
maksud pengutusan) yang besar bagi para murid.
Dalam cara
berpikir Yohanes, para murid itu bahkan jadi tempat Roh Kebenaran tinggal.
Seperti kemah tempat berlindung di padang gurun yang penuh bahaya. Sekali lagi
gambaran ini membuat murid-murid menyediakan diri bagi orang-orang yang
terancam kekuatan-kekuatan gelap "dunia" yang menolak kehadiran ilahi
tadi.
Kamis, 10 Mei 2012
ALLELUYA DI TENGAH
PARA KORBAN
Pengantar
Merayakan paskah berarti merayakan kemenangan. Nyanyian
Alleluya yang dikumandangkan di setiap perayaan paskah; dan selanjutnya di
setiap hari Minggu, sesungguhnya merupakan letupan gegap gempita sebuah kemenangan. Kemenangan karena memang
ada yang telah dikalahkan, yaitu penderitaan dan kematian. Jadi seruan Alleluya
itu adalah klimaks dari tese-tese panjang perjalananan melintasi penderitaan.
Namun terkadang symphoni Alleluya ini, digubah begitu meriah sehingga membuat
orang tercengang dan segera melupakan jalan derita yang mengantarnya pada
puncak kemenangan itu. Apalagi ketika symphoni Alleluya itu dinyanyikan di
tengah sebuah dunia yang sangat mengagungkan kemenangan. Nyanyian alleluya akan
segera menjadi ‘obat bius’ yang akan dengan mudah membawa orang melayang di
awan-awan walaupun sesungguhnya kakinya masih menyentuh bumi.
Sejarah hidup manusia, memang, selalu merupakan sejarah
kemenangan. Bahkan sejarah yang memihak orang-orang yang menang. Hanya orang-orang
yang menanglah yang selalu dikenang dalam sejarah. Oleh karena itu semua orang
selalu berpacu untuk merebut kemenangan. Semua orang ingin menunjukan bahwa ia
lebih berkuasa dari orang lain. Ia lebih unggul dari orang lain.
Konsekuensi dari sejarah kemenangan adalah korban;
orang-orang yang menderita kekalahan karena tidak berdaya melawan orang yang
lebih kuat. Apakah korban-korban ini masih mempunyai tempat dalam sejarah dunia
yang sangat mengagungkan kemenangan? Dalam hubungannya dengan paskah; bagaimana
kita dapat menyerukan Alleluya di tengah suasana kekalahan? Bukankah malah akan
terdengar sangat ironis, sarkartis, kontradiftif? Alleluya selalu identik dengan kemenangan, bukan? Sepertinya ada
perasaan puas yang dipaksakan sehingga yang kemudian muncul malah perih yang
menyayat sekali. Jadi, persoalan kita sekarang adalah bagaimana mengajak para
korban menyanyikan Alleluya dalam suatu paradigma baru yang tidak menyinggung
perasaan atau menyepelekan keadaan derita mereka? Untuk menjawab persolaan ini
saya akan coba menelusuri teologi pengharapan Jürgen Moltmann untuk sedikit
memberi terang pada makna kebangkitan atau nyanyian Alleluya bagi para korban.
Alleluya Dalam
‘Partitur’ Jürgen Moltmann[i]
Menurut Moltmann, kebangkitan tak dapat dipikirkan tanpa
melatarinya pada peristiwa salib. Sebab kebangkitan adalah sebuah peristiwa
yang sekaligus mau memperkenalkan siapa yang mati di salib. Dari kebangkitanlah
dinyatakan kepada dunia bahwa yang mati di salib adalah Putra Allah. Moltmann
memberi makna pada dua peristiwa besar dalam kehidupan Yesus ini dengan
menempatkannya dalam dua periode waktu, yakni masa kini dan masa yang akan
datang. Kebangkitan Kristus adalah antisipasi dari Allah yang akan datang; yang
mampu mengalahkan maut dan kematian. Sedangkan kematian Kristus di salib adalah
realitas Allah untuk kita saat kini. Allah di tengah dunia yang tidak abadi,
yang mematikan.
Dengan memusatkan perhatian pada peristiwa Golgota, Moltmann
merefleksikan Allah yang menderita ini, dalam persitiwa Allah Trinitas. Dari
atas salib, Putra Allah berseru dengan suara nyaring; “Eli, Eli Lama Sabaktani?
Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” inilah teriakan seorang
Putra yang merasa telah ditinggalkan Bapaknya, justru pada saat Ia sangat
membutuhkan kehadiran Bapaknya. Karena Yesus adalah Puatra Allah, maka kita
melihat di sini Allah yang telah disalibkan. Allah yang menderita dan wafat.
Hanya Allah yang menderita adalah Allah yang dapat dipercaya dan sekaligus
Allah yang mencinta.
Senja di Golgota juga menjadi begitu penting dalam sejarah
umat manusia, karena dalam ke-ilahian-Nya yang menderita, Allah melepaskan
atribut atau sebutan-sebutan tradisional-Nya,[ii]
dan ‘minum’ sampai ketegukan yang terkahir, keputusasaan yang menyayat hati dan
penderitaan kematian yang mendalam sekali. Sampai di sini kita mungkin bertanya; kalau
Allah menderita bukankah penderitaan sudah tidak dapat lagi dibungkamkan
seluruhnya pada-Nya? Apakah para korban masih dapat ditolong oleh Allah yang
lemah dan menderita?
Penderitaan Allah tentu tidak dapat dipikirkan sama seperti
penderitaan manusia. Bagi Moltmann, Allah yang tersalib, Allah yang tak berdaya
dan menderita laksana cermin yang menunjukkan kepada dunia wajah dunia itu
sendiri yang sebenarnya. Moltmann menulis, “pada salib akan terungkap dan
tampak jelas keterjauhan semua mahluk dan dunia dari Allah, dan salibpun
menunjukan kenyataan belum terpenuhinya kerajaan Allah di dunia, dimana segala
sesuatu akan memperoleh hak; kehidupan dan kedamaian.” Jadi, allah yang
menderita mau menunjukan keterlibatan Allah yan sungguh-sungguh dalam kehidupan
manusia. Allah yang sungguh-sungguh solider dengan nasib manusia. Dengan
masuknya Allah dalam situasi paling kelam dalam kehidupan manusia ini, Allah
mau menyelamatkan manusia. Dengan kata lain, tidak ada lagi tempat yang
demikian kelam bagi manusia karena telah diterangi oleh Allah sendiri. Dan
terang itu muncul secara sangat nyata dalam peristiwa kebangkitan Yesus.
Namun kenyataan kemulian kebangkitan manusia yang telah kian
pasti dijamin sendiri oleh kebangkitan Kristus ini masih merupakan suatu
eskaton, masih akan datang pada jaman parusia. Kebangkitan itu seperti partitur
musik yang masih menanti untuk dimainkan pada suatu waktu, pada suatu ruang
tertentu. Karena kebangkitan Kristus sendiri belum mengakiri segala sesuatu.
Sejarah kekalahan dan penderitaan masih terus berlangsung. Yang kita hadapi
adalah keselamatan dalam tanda salib, keselamatan dalam tanda kehancuran dan
kematian: sub contrario.[iii]
Alleluya Untuk Para
Korban
Mengajak para korban untuk menyanyikan Alleluya dalam suatu
paradigma kemenangan tentulah bukan merupakan suatu tindakan yang
membahagiakan, walaupun ajakan itu akan sangat menghibur dan mungkin sejenak
dapat membuat mereka sedikit melupakan pengalaman penderitaan mereka. Sebab
ketika gegap gempita sorak sorai Alleluya itu berakhir mereka akan kembali
terpekur sendiri dalam situasi aktual yang sedang menggerogoti mereka. Karena
itu paradigma baru yang harus dibangun dalam suasana paskah adalah Alleluya
yang menawarkan harapan. Seruan Alleluya yang demikian harus sungguh-sungguh
didasarkan pada peristiwa salib sebagai jalan keselamatan yang harus ditempuh
siapa saja yang ingin bangkit.
Dasar dari paradigma baru ini adalah peristiwa salib dan
kebangkitan Yesus. Yesus yang tersalib mau menunjukan bahwa Allah hadir dalam
penderitaan, hadir sebagai Allah yang tersalib. Ini berarti Allah adalah Dia
yang menyertai para penderita. Para korban, semua orang yang menderita, adalah
mereka yang hadir dalam penderitaan Allah. Dengan demikian para korban tidak
sendirian dalam penderitaannya.
Yesus yang bangkit mau menunjukan bahwa penderitaan dan
kematian tidaklah abadi. Kebangkitan menjadi tese puncak di mana jalan panjang
penderitaan dan kematian diakhiri. Kebangkitan merupakan masa depan dari
peristiwa salib. Semua penderitaan dalam dunia ini telah terangkum dalam
penderitaan Yesus. Dengan demikian semua penderitaan juga memiliki masa depan
yang sama, yakni kebangkitan di puncak perjuangannya. Di dalam Kristus sebagai
jaminannya, penderitaan akhirnya mempunyai tempat akhir yang pasti, namun
tempat ini masih harus diungkapkan dalam masa yang akan datang; eskaton.
Tempat yang pasti inilah janji Allah. Janji Allah yang menjadi
nyata dalam peristiwa Yesus Kristus ini adalah dasar dari sebuah harapan.
Bahkan inilah dasar dari harapan yang militan; terus berharap kendati di
hadapkan pada ketidakadilan dan absurditas perjuangan di dunia ini. jalan salib
sebagai jalan satu-satunya menuju kebangkitan menjadi jalan yang paling
realistis yang harus diambil, kendati jalan itu terasa berat, tertatih-tatih,
bahkan mungkin harus jatuh dan bangun lagi.
Harapan akan kebangkitan menjadi satu-satunya kekuatan
ketika para korban menghadapi situasi batas di mana segalanya serba tidak
pasti. Karena itu mengajak para korban menyanyikan Alleluya sesungguhnya adalah
untuk menguatkan langkah-langkah mereka dalam perjalanan salibnya di dunia ini
bahwa perjuangan mereka tidak akan berakhir sia-sia. Alleluya di tengah mereka
sekaligus menjadi Alleluya untuk bersama mereka berusaha keluar dari situasi
penderitaan mereka dengan perjuangan yang terus menerus tanpa kenal lelah.
Penutup
Paskah memang merupakan sebuah kemenangan. Namun paskah itu
masih tetap merupakan harapan. Sementara kenyataan yang kita alami, lebih merupakan
sebuah perjalanan antara Golgota dan Kebangkitan.
Oleh: Apheles Hugo
[i] Jürgen
Moltmann adalah teolog Jerman
[ii]
Atribut-atribut itu misalnya Allah pencipta, Allah yang Mahakuasa, Allah yang
mampu mengalahkan maut, dan lain-lain.
[iii]
Sub contrario arti harafiahnya pertentangan antar bagian. Artinya di dalam
kesatuan suatu kalimat itu sesungguhnya ada pertentangan di dalam
bagian-bagiannya. Dalam konteks kalimat di atas, Pertentangan itu muncul dalam
term keselamatan dan tanda salib. Mungkinkah salib yang merupakan bentuk
hukuman itu dapat membawa keselamatan? Menderita tapi selamat?
Langganan:
Postingan (Atom)