Rabu, 16 Februari 2011

carpe diem

CARPE DIEM

Perjalanan ke alor dengan kapal penyebarangan ASDP atau Ferry sungguh luar biasa. Pertama kali aku dikagetkan dengan harga tiket yang begitu melonjak tinggi. Ternyata aku sudah cukup lama tidak kembali ke kampung. Enam tahun memang bukan waktu yang singkat. Segala sesuatu bisa berubah, bukan? Kecuali satu, suasana kapal yang masih itu-itu saja. Desak-desak penumpang memenuhi dek bawah yang semestinya diperuntukan bagi kendaraan. Semua penumpang enjoy saja. Meski mereka harus berhimpitan dengan ban sepeda motor, lemari pakaian, tumpukan karung hasil bumi dan lain sebagainya. Angkutan murah memang tetap menjadi pilihan. Walaupun bagiku ini sudah tidak murah lagi.

Setiap orang sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri. Anak-anak bermain sesukanya. Di mana saja mereka memang senang bermain. Orang-orang tua ngobrol ke sana kemari. Ada juga yang sibuk menjaga anak mereka agar tidak terlalu dekat bermain ke buritan kapal. Maklum pengamanan kapal tidak begitu menjamin. Orang-orang muda sibuk mengumbar pesona, memperhatikan lawan jenis seusianya yang mungkin kena di hati. Kapal yang hiruk pikuk namun sungguh mengayikkan. Semua tidak peduli kapan mereka akan tiba di pelabuhan seberang, karena mereka sudah tahu kapal baru akan berlabuh bila pagi datang. Untuk sekedar membunuh waktu, semua menikmati saja.

Hamparan lautan yang percuma diberikan, membentang begitu saja bagai permadani biru yang tak berujung. Langit yang begitu cerah. Matahari senja yang mulai kemuning warnanya. Siapa yang peduli dengan bunyi mesin kapal. Siapa yang peduli dengan ketidaknyamanan, apalagi kelayakan sebuah anggkutan umum murah. Asal bisa sampai di tujuan, itu sudah sangat disyukuri mereka.

Tiba-tiba seorang anak kecil menjerit menambah gaduh suasana yang sudah sangat ramai itu. Teriakannya makin menjadi-jadi, sehingga mampu mengalahkan deru mesin kapal.Sejenak semua mata di keramaian itu mengarah padanya. Ia belum juga diam, tatapan mata-mata itu tidak mampu menyuruhnya diam. Terdengar ibunya bertanya dengan dialek daerah yang khas Alor selatan, “ada apa e, kenapa tidak bisa diam?” anaknya menyahut dengan teriakkan yang lebih kencang lagi. Kemudian ia meronta-ronta, mengejang, berusaha melepaskan diri dari gendongan ibunya. Orang-orang mulai terbiasa dengan adegan itu. Mereka sibuk lagi dengan urusannya sendiri. Tapi sesekali mereka terusik juga dengan teriakkan anak itu. Dia belum juga berhenti menjerit. Ada yang mulai memberi komentar. “Mungkin lapar, ayo beri dia makan, bu!”

“sudah, dia baru menghabiskan sebongkah roti” sebongkah roti memang tertalu besar untuk anak sekecil itu. Sehingga orang yang memberi saran tadi cuma bisa melongo.

“turunkan saja, ia ingin bermain” yang lain coba membantu.

“Tidak, aku takut” ibu itu malah semakin erat mencengkram anaknya. Anaknya yang kesakitan sepertinya hampir kehabisaan udara. Napasnya terengah-engah antara tangisan dan cekikan.

“Ayo turunkan saja, bu. Apa yang ibu takutkan?”

“Ia akan terjun ke laut” suara ibunya begitu meyakinkan ketika mengatakan kalimat itu.

Tangisan anak kecil itu ternyata mulai menular

Pasted from

\CARPE%20DIEM.docx>

Tidak ada komentar: