Rabu, 02 Maret 2011

NUMERO UNO


Mrk10:32-45

Menjadi yang terbesar, menjadi yang terkemuka adalah dambaan setiap orang. Di mana-mana kita mendengar dan menyaksikan orang berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi terdepan. Dalam setiap pertandingan apapun sudah pasti yang selalu dikejar adalah kemenangan, numero uno. Bahkan ketika kalahpun, orang selalu menghibur diri dengan ungkapan, “ini adalah kemenangan yang tertunda.” Dunia kita dewasa ini memang merupakan dunia yang diwarnai dengan persaingan, siapa yang menang dialah yang akan tetap hidup.

Pada kenyataannya, yang menjadi terbesar adalah selalu yang terbaik. Orang-orang besar adalah orang-orang yang dianggap mempunyai kompetensi terbaik dalam bidangnya. Orang-orang yang selalu keluar sebagai pemenang adalah orang-orang yang paling ulung. Tak jarang orang-orang yang memiliki predikat terbaik ini adalah orang-orang yang setia pada hal-hal kecil, orang-orang yang rajin dan tekun. Dalam dunia olahraga, orang-orang yang sering keluar sebagai pemenang sebuah pertandingan adalah orang-orang yang memiliki jadwal latihan yang ketat dan disiplin yang tinggi. Ini adalah suatu seleksi alamiah, bila ingin menjadi yang terbesar, harus menjadi yang terbaik.

Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. (Mrk.10:43-44) secara sepintas mungkin kita melihat apa yang dikatan Yesus ini sungguh bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Mana mungkin kalau ingin jadi yang terbesar harus menjadi seorang pelayan, kacung atau babu? Apakah mungkin seorang hamba dpat menjadi seorang yang terkemuka, terhormat dan disegani semua orang? Kalau begitu, sekiranya apa sebenarnya yang ingin disampaikan Yesus dari sabdanya untuk kita hari ini? Saya melihat ada dua hal penting yang ingin ditekankan di sana.

Pertama, bila ingin menjadi yang terkemuka hendaklah manjadi yang terakhir. Yang terakhir dapat diartikan sebagai suatu kondisi persiapan untuk menjadi yang terdahulu, terkemuka. Bila ingin berada di puncak, orang harus memanjat anak tangga perlahan-lahan. Bila ingin menjadi yang terbaik, orang harus memulai dari latihan-latihan dasar, yang menjadi kekuatan untuk latihan-latihan berikutnya yang lebih berat. Bila ingin menjadi teladan, orang biasanya menghormati orang-orang kecil dan yang tak diperhatikan. Orang yang menata kariernya dari bawah akan lebih lama bertahan kekuasaannya ketimbang orang yang tiba-tiba saja berada di puncak, sebab ia tidak memiliki dasar yang kuat. Orang yang bekerja keras mencari uang akan lebih bersyukur dan bangga dengan hasil keringatnya ketimbang orang yang tiba-tiba menang undian/lotre.

Kedua, bila ingin menjadi yang terbesar, hndaklah menjadi pelayan bagi semua. Menjadi pelayan berarti menjadi seorang yang selalu memperhatikan kebutuhan orang lain. (lihatlah pelayan di pesta-pesta) Hal ini wajar, karena seorang yang terbesar adalah seorang yang memiliki tanggung jawab paling besar, seorang yang memiliki bidang pelayanan paling luas. Karena itu sering muncul istilah seorang besar itu sesungguhnya adalah seorang pelayan besar. Sebab, sesungguuhnya seorang menjadi besar karena ia di “besar”kan oleh orang lain. Para pejabat menjadi besar karena ada rakyat, orang kebanyakan, yang telah mengangkatnya. Karena itu ia harus menjadi pelayan bagi rakyatnya.

Menjadi besar sesungguhnya bukan sebuah fenomen yang negative. Orang memang harus membangun semangat kompetisi bila ingin maju. Persoalannya adalah bagaimana cara menjadi yang terbesar dan bagaimana bersikap setelah menjadi yang terbesar. Untuk menjadi yang terbesar orang harus terlebih dahulu menjadi yang terbaik, untuk itu orang harus belajar untuk tekun dan setia pada hal-hal kecil yang dapat menghantarnya untuk setia pada hal-hal besar. Dan setelah menjadi yang terbesar, orang tidak boleh takabur, ia tidak boleh lupa daratan. Ia harus bisa menjadi pelayanan bagi sesamanya.

Tidak ada komentar: