18 sept 2010 02:10
Terbangun dari tidur karena lampu kamar yang dinyalakan istriku. Ternyata istriku sangat terusik dengan gigitan nyamuk yang sedang mengamuk. Satu dua tepukan ke dinding dan seekor nyamuk yang kenyang mati berdarah-darah. Beberapa tepukan lagi di kakiku, tapi kali ini luput. Nyamuk yang lincah berhasil meloloskan diri. Aku akhirnya benar-benar bangun. Membelalakan mata dan menggeser tubuh menuruni tampat tidur. Istriku bertanya, hendak ke mana. Kamar mandi, pipis. Aku ikut. Kami kencing bersama di kamar mandi.
Kembali ke kamar, aku sudah tidak bisa tidur lagi. Mata dan pikiran tidak bisa dipaksa memejam lagi. Terlebih otak. Beragam pikiran kembali mengganggu. Persoalaan siang muncul lagi. Kesan terhadap orang-orang di tempat kerja berputar lagi. Pikiran membuat dialognya sendiri. Mewakili diri sendiri dan pribadi-pribadi lain yang ikut dalam dialog. Tidak adil memang. Menempatkan pikiran sendiri di kata-kata yang keluar dari mulut yang diandaikan milik orang lain. Tapi apa boleh buat, otak sudah bermain sendiri dengan aturan yang dibuatnya secara sepihak.
Akupun akhirnya menyadari. Tidak semua dialog semu tadi adalah hasil kerja otak. Perasaanku ikut mempengaruhi munculnya dialog imajiner tadi. Rasa tidak suka pada pribadi-pribadi tertentu membuat kalimat-kalimat dialog menjadi sarkastis. Pongah tak kenal sopan-santun. Sekali lagi, apa boleh buat. Otonomi otakku punya kuasa mutlak untuk memainkan kata-kata sekehendak hati. Kalau sedang marah ya biarkan saja. Mumpung pribadi yang dihadirkan tidak hadir secara riil dalam dialog ini.
Tapi ini tidak baik. Melelahkan dan kekanak-kanakan. Lebih baik membuat rencana untuk berbicara langsung dengan pribadi-pribadi yang tidak disenangi tadi. Pasti kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mereka adalah kalimat -kalimat yang orisinil. Sehinga dengan demikian saya mendapatkan kepastian pendapat atas persoalaan yang sedang kami hadapi.
Ya sudahlah, begini mungkin lebih baik. Lebih jujur dan dewasa. Serta merta aku teringat umurku sudah tiga puluh dua. Sudah kepala tiga, tapi apakah aku sudah cukup dewasa? Terutama dalam menghadapi persolan-persoalaan yang aka temukan dengan pribadi-pribadi lain di tempat kerjaku. Jujurlah. Ini kesempatan untuk mengasah kejujuran diri yang pada gilirannya membawa diri pada tingkat kedewasaan tertentu.
Jujur. Mengakui kekurangan dan kelebihan diri sendiri maupun orang lain. Jangan takut pada kekuasaan karena ia tidak pernah bisa menguasai dirimu secara mutlak. Engkaulah orang yang paling berkuasa atas dirimu sendiri. Gunakanlah kekuasaanmu itu sebaik-baiknya karena pasti akan dituntut tanggung jawab atas apa yang telah engkau kerjakan dengan kekuasaanmu itu. Mari berhamba pada kebenaran, karena kebenaranlah jalan yang menuntun kekuasaan pada kemuliaan.
Cukup. Waktu sudah menunjukan pukul 02:45. sudah saatnya kembali tidur. Mata dan pikiran sudah mulai meredup. Semoga besok pagi ada dialog yang lebih menyenangkan dan membangun.
Minggu 03:50
Istriku membangun aku untuk mengantarnya ke kamar mandi. Kami terbangun tapi tidak begitu dengan anak kami. Istriku merasa perutnya sakit tapi tidak ada gerakan apa-apa dari anak kami. Ia memintaku untuk memasang telingaku ke perutnya. Aku menurutinya saja. Di beberapa tempat aku coba menangkap detakan kecil yang muncul dari dalam perut. Berpindah lagi ke bagian perut yang lain. Sampai kira-kira ada tiga bagian perut yang kutelusuri tapi sama saja. Kosong. Tidak ada detakan atau dentuman sama sekali. Istriku bertanya, bagaimana. Aku ragu-ragu memberi jawaban. Akhirnya kusampaikan saja dengan suara yang kurang pasti. Ada. Aku kembali keposisi normal. Kepala kembali sejajar lagi dengan istriku. Tapi tanganku tetap kutempelkan di perutnya. Beberapa detik kemudian anakku memberi tanda. Satu gerakan kecil dari dalam perut tapi itu sudah cukup untuk memberitahu kami. Aku di sini papa, ibu. Istriku pun kemudian mulai merasakan gerakan-gerakan kecil yang sama di dalam perutnya. Maaf ya dek, ibu membangunkanmu. Ya ibu dan bapak sudah tahu, ayo bobok lagi.
Sabtu, 25092010
Mata yang begitu berat. Kelelahan menambah lemah dan pening. Ingin tidur yang lama dan lelap. Ingin hilang sejenak. Pergi jauh entah ke mana. Pergi dalam tenang. Dalam terlelap yang panjang…
Setelah berhari-hari terombang ambing kegalauan, semua akhirnya mulai menampakkan kejelasan. Cepat atau lambat harus segera dibuat pilihan. Mungkin memang belum tepat waktunya. Tapi setidaknya jalan serius ke sana sudah harus mulai dirintis.
Terkadang kita tidak pernah tahu mengapa kita begitu dibenci sampai pada waktunya kebenciaan itu sendiri yang menjelaskan dirinya. Aku sesungguhnya tidak pernah yakin pada alasan yang bersifat negatif karena yang negatif hanyalah privasio, ia sebenarnya tidak pernah ada. Sehingga sebenarnya yang selalu kurenungkan adalah kebaikan apa, hal positif apa yang sesungguh aku belum lakukan padahal semestinya sudah harus kulakukan. Ya, pasti ada yang belum sempat hadir. Untuk itulah aku harus lebih proaktif. Bukan cari muka pada atasan. Tapi lebih sebagai cara untuk menunjukkan potensi diri yang belum teraktualisasi secara maksimal.
Siapa menyangka semua bisa begini…
Mari lebih serius mengembangkan potensi diri.. Bukan untuk memamerkan kebolehan tapi semata demi pengem bangan diri. Kalau di sini tidak diakui masih ada tempat yang lain, bukan? Sebuah kemampuan yang diasahkan dengan kesabaran akan lebih menunjukkan hasil yang optimal.
I believe in You, Jesus.