Senin, 28 Februari 2011

HARTA

Ada sesuatu Try Out hari pertama UNAS SMP 2010 / 2011 MKKS Surabaya. Paket soal UNAS terdiri dari lima macam; ABCDE. Pengawas try out membagi paket soal secara acak sambil tetap memperhatikan agar siswa yang berdekatan jangan sampai mendapat paket soal yang sama. Raut wajah para siswa biasa-biasa saja. Rupayanya mereka sudah diberitahu akan adanya penambahan jumlah paket soal ini.

Penambahan jumlah paket soal ini tentunya untuk menjaga kredebilitas lulusan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Harus ada banyak siswa yang lulus namun tentunya masing-masing dari mereka haruslah siswa yang berkualitas. Bagi para penyelenggara pendidikan, ini tentunya main goal-nya, tapi bagi para siswa itu hanyalah akal-akalan pemerintah saja supaya kami tidak bisa saling nyontek. Hahahaha…! “Ah, lama-lama makin susah ya untuk dapat lulus UNAS!”

"Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah…” (Mrk 10:24). Yesus ternyata juga menuntut manusia-manusia yang berkualitas untuk dapat masuk dalam Kerajaan Allah. Hanya manusia-manusia yang lulus ujianlah yang dapat masuk dalam Kerajaan Allah. Kalau orang ingin mendapatkan kedamaian yang sempurna, ia harus menjual harta milliknya dan mengikuti Yesus. Ini adalah ujian yang berat. Sebab secara naluria manusia selalu ingin menumpuk harta sebanyak-banyaknya. Kita tidak dapat memungkiri bahwa kesejahteraan hidup manusia di dunia sedikit banyak ditentukan pula oleh seberapa banyak penghasilan dan juga harta yang dapat menjamin hidupnya. Kemiskinan material bukan pilihan bagi manusia dewasa ini. Kalau begitu apakah yang akan lulus dalam  ujian masuk Kerajaan Allah itu hanyalah orang-orang yang miskin?

Tentunya tidak demikian, bukan? Orang yang lulus ujian adalah orang yang tidak mengikat hatinya dengan harta. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6:21). orang yang tidak menempatkan harta sebagai Tuhannya; menenpatkan harta sebagai satu-satunya tujuan hidupnya. Orang yang tidak menempatkan harta sebagai identitas eksistensinya. Melainkan orang yang secara berani mau mambagi hartanya/rejekinya bagi orang lain yang membutuhkan. Harta bukan lagi tujuan tetapi sarana untuk mencapai kedamaian abadi; Kerajaan Surga.

Sabtu, 19 Februari 2011

BABEL


Saya menjadi assisten class EFL (English for Foreign Language) KUMON baru tiga bulanan ini. Tapi saya menemukan spirit bertanding yang luar biasa dari anak-anak sekelas TKK maupun SD yang berusaha mengalahkan tingkatan kelasnya sendiri dalam mempelajari materi pelajaran bahasa Inggris. Masing-masing anak usia belia itu bahkan ada yang sudah dapat menguasai materi pelajaran lima tingkat di atas tingkatan kelasnya. Ini memang misi dari KUMON. Seperti Clarence, siswa kelas dua SD, tapi sekarang yang dipelajarinya adalah materi pelajaran bahasa Inggris yang setara dengan siswa kelas lima SD. Semangat juang mereka yang besar dan ditunjang oleh sistem pengajaran yang terpadu membuat anak-anak jaman sekarang dapat dengan cepat menguasai penggunaan satu bahasa asing.

Saya teringat akan kisah menara Babel, sebuah kisah yang konon menjadi cikal bakal munculnya beragam bahasa di dunia. Orang-orang pada jaman Babel itu sedang berusaha membangun sebuah kota dengan menaranya yang dapat menjangkau langit. Usaha mereka dapat berjalan dengan mudah karena mereka dapat saling berkomunikasi dengan baik. Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apa pun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana” (Kej 11:6). Tuhan melihat ini lalu berusaha mencegahnya dengan mengacaubalaukan bahasa mereka. dan mereka berhenti mendirikan kota itu (Kej 11:8). Apakah pembangunan kota dan menara tidak diteruskan lagi hanya karena persoalaan bahasa yang beragam? Atau adakah yang ingin ditunjukan oleh Tuhan dengan aksiNya ini?

Saya berpikir bahwa kalau hanya persoalaan bahasa mereka menghentikan pembangunan Babel, maka tentunya setelah mereka dapat mempelajari bahasa-bahasa asing yang baru itu, pembanguan kota dan menara dapat dilanjutkan lagi. Toh, manusia memiliki kemampuan intelektual untuk menguasai suatu hal baru dengan cepat, termasuk bahasa, bukan? Kisah menara Babel ini lebih dari sekedar persoalaan bahasa. Inilah kisah keangkuhan manusia yang ingin menjungkau Allah. Kisah yang munuturkan secara gamblang betapa berambisinya manusia pada kekuasaan, termasuk kekuasaan yang absolut. Ada keinginan kuat untuk menunjukkan siapa dirinya.

Padahal Yesus kemudian menunjukkan "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, …” (Mrk 8:34). Jika ingin menjangkau Allah, setiap orang harus bisa meningalkan dirinya. Ia harus bisa melepaskan atribut-atribut kebanggannya sebagai manusia; yang bisa membangun ini dan itu, yang bisa menguasai ilmu ini dan itu, yang memiliki kecemerlangan budi dan ketangguhan fisik, untuk mengambil jalan yang boleh dibilang hina (salib). Orang harus mampu turun dari singgasana keinginannya untuk menguasai dan sungguh-sungguh menggantinya dengan hasrat yang kuat untuk melayani.

Sehingga kemampuan intelektual yang diberikan Tuhan untuk secara cepat dapat menguasai sesuatu hendaknya dimanfaatkan manusia jaman sekarang untuk melayani Tuhan dan sesamanya. Bukan malah sebaliknya, berusaha menyaingi Tuhan atau secara arogan mau menguasai sesamanya sendiri. Ragam bahasa yang ada, hendaknya menunjukkan keanekaan kekayaan Tuhan. Dan kemampuan kita dalam menguasai beragam bahasa asing, adalah berkat yang secara sengaja diberikan Tuhan agar memudahkan kita untuk saling berkomunikasi dalam karya pelayanan. Inilah Babel baru yang harus dibangun anak tangga pelayanan yang pada gilirannya akan membawa kita pada pertemuan dengan Tuhan di puncaknya.

Kamis, 17 Februari 2011

RENUNGAN: MESSI


Bukan suatu kebetulan renungan ini dibuat menjelang pertandingan knock out 16 besar liga champion Eropa antara Barcelona melawan Arsenal. Saya menyebut ini suatu keterkaitan yang indah. Kaitan itu ada pada sebuah nama: Messi. Leonil Messi adalah pemain kunci di klub Barcelona. Pemain terbaik dunia 2010 ini jelas-jelas menjadi momok tersendiri bagi pemain belakang lawan klub manapun. Ketika kaki-kaki lincahnya mulai mengoceh bola semua mereka seolah tersihir untuk hanya mengagumi pesona lekukan tariannya. Sampai tiba-tiba bola sudah bersarang di gawang mereka, barulah mereka siuman. Itulah Messi. Seorang pemain belakang Arsenal menjelang pertandingan ini mengatakan, bahwa semua pemain Barcelona memang hebat tapi Messi tetap menjadi perhatian utama. Tapi apa yang dikatakan Messi menjawab pujian hebat ini. Ia malah balik memuji pemain lawan. Menurut Messi satu-satunya pemain yang harus mendapat perhatian adalah Teo Walcot. Inikah kerendahan hati seorang Messi?

Maka jawab Petrus: “Engkau adalah Mesias!” sebuah nama indah yang muncul dari seorang murid Yesus yang tahu persis siapa gurunya. Jawaban itu sepertinya tidak murni ungkapan Spontan Petrus semata, tapi lebih dari itu. Inilah jawaban putra-putri Daud yang telah sangat lama merindukan datangnya seorang penyelamat. Secara khusus penyelamat yang dapat membebnaskan bangsa mereka dari situasi terjajah oleh bangsa asing. Tetapi apa tanggapan Yesus atas jawaban Petrus itu. “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.” Inilah kerendahan hati seorang Mesias. Ia tidak segera besar kepala karena menyandang predikat juruselamat seperti yang mereka bayangkan. Tapi Ia malah merendah. Ia tidak ingin dihormati oleh orang-orang dunia ini. Karena keselamatan yang dibawaNya adalah keselamatan yang abadi. Selamat dari penjajahan maut. Keselamatan yang demikian harus ditempuh dengan jalan penderitaan dan kematian.

Apakah Messi dan Messias itu sama? Secara harfiah mungkin ya. Tapi esensinya tentu sangat jauh berbeda. Walaupun demikian Messi telah menunjukan dirinya sebagai murid seorang Mesias sejati. Messi telah meneladani kerendahan hati Mesiasnya. Ia tetap menempatkan dirinya sebagai seorang biasa walaupun ia memiliki kelebihan yang membuat dia menjadi pemain bola yang luar biasa. Apakah kita juga mampu berbuat seperti Messi, mencontoh kerendahan Messias kita? Hari ini sekali lagi mari kita belajar untuk menjadi lebih rendah hati.

Rabu, 16 Februari 2011

carpe diem

CARPE DIEM

Perjalanan ke alor dengan kapal penyebarangan ASDP atau Ferry sungguh luar biasa. Pertama kali aku dikagetkan dengan harga tiket yang begitu melonjak tinggi. Ternyata aku sudah cukup lama tidak kembali ke kampung. Enam tahun memang bukan waktu yang singkat. Segala sesuatu bisa berubah, bukan? Kecuali satu, suasana kapal yang masih itu-itu saja. Desak-desak penumpang memenuhi dek bawah yang semestinya diperuntukan bagi kendaraan. Semua penumpang enjoy saja. Meski mereka harus berhimpitan dengan ban sepeda motor, lemari pakaian, tumpukan karung hasil bumi dan lain sebagainya. Angkutan murah memang tetap menjadi pilihan. Walaupun bagiku ini sudah tidak murah lagi.

Setiap orang sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri. Anak-anak bermain sesukanya. Di mana saja mereka memang senang bermain. Orang-orang tua ngobrol ke sana kemari. Ada juga yang sibuk menjaga anak mereka agar tidak terlalu dekat bermain ke buritan kapal. Maklum pengamanan kapal tidak begitu menjamin. Orang-orang muda sibuk mengumbar pesona, memperhatikan lawan jenis seusianya yang mungkin kena di hati. Kapal yang hiruk pikuk namun sungguh mengayikkan. Semua tidak peduli kapan mereka akan tiba di pelabuhan seberang, karena mereka sudah tahu kapal baru akan berlabuh bila pagi datang. Untuk sekedar membunuh waktu, semua menikmati saja.

Hamparan lautan yang percuma diberikan, membentang begitu saja bagai permadani biru yang tak berujung. Langit yang begitu cerah. Matahari senja yang mulai kemuning warnanya. Siapa yang peduli dengan bunyi mesin kapal. Siapa yang peduli dengan ketidaknyamanan, apalagi kelayakan sebuah anggkutan umum murah. Asal bisa sampai di tujuan, itu sudah sangat disyukuri mereka.

Tiba-tiba seorang anak kecil menjerit menambah gaduh suasana yang sudah sangat ramai itu. Teriakannya makin menjadi-jadi, sehingga mampu mengalahkan deru mesin kapal.Sejenak semua mata di keramaian itu mengarah padanya. Ia belum juga diam, tatapan mata-mata itu tidak mampu menyuruhnya diam. Terdengar ibunya bertanya dengan dialek daerah yang khas Alor selatan, “ada apa e, kenapa tidak bisa diam?” anaknya menyahut dengan teriakkan yang lebih kencang lagi. Kemudian ia meronta-ronta, mengejang, berusaha melepaskan diri dari gendongan ibunya. Orang-orang mulai terbiasa dengan adegan itu. Mereka sibuk lagi dengan urusannya sendiri. Tapi sesekali mereka terusik juga dengan teriakkan anak itu. Dia belum juga berhenti menjerit. Ada yang mulai memberi komentar. “Mungkin lapar, ayo beri dia makan, bu!”

“sudah, dia baru menghabiskan sebongkah roti” sebongkah roti memang tertalu besar untuk anak sekecil itu. Sehingga orang yang memberi saran tadi cuma bisa melongo.

“turunkan saja, ia ingin bermain” yang lain coba membantu.

“Tidak, aku takut” ibu itu malah semakin erat mencengkram anaknya. Anaknya yang kesakitan sepertinya hampir kehabisaan udara. Napasnya terengah-engah antara tangisan dan cekikan.

“Ayo turunkan saja, bu. Apa yang ibu takutkan?”

“Ia akan terjun ke laut” suara ibunya begitu meyakinkan ketika mengatakan kalimat itu.

Tangisan anak kecil itu ternyata mulai menular

Pasted from

\CARPE%20DIEM.docx>

ayah


Ayah. Aku telah menjadi seorang untuk empat bulan labih. Bagi Filio anak yang telah hadir ditengah-tengah kami. Buah kasih yang tiada bandingannya ini. Malam ini ia menangis histeris, rupanya ia masih kesal karena tadi tidurnya terganggu. Ia menangis sejadi-jadinya. Tetangga-tetangga jadi ikut prihatin. Semua berdatangan. Padahal istriku sudah berusaha menengkannya. Ia tetap histeris. Aku jadi kalang kabut. Istriku bilang jangan panik, tapi aku sudah tidak tahan lagi. Filio kurebut dan kugendong. Aku lantas bersuara lebih keras, berusaha mengalahkan erangannya. Dia mulai sadar. Agak tenang, berhenti sesaat. Tapi tetap ingin berteriak lagi. Kami akhirnya kuat-kuatkan suara. Dia mungkin mulai sadar kalau ini suara ayahnya. Ia perlahan mulai tenang. Kubisiki kata-kata lembut di teilinga. Akhirnya ia benar-banar tenang. Dan tertidur. Mungkin juga kecapean. Kutimang-timang lagi, kutepuk-tepuk lagi pantatnya. Ia semakin terlelap.

Begini jadinya jadi ayah. Menenangkan putra yang sedang kalut adalah juga tugas utamanya. Aku sadar ia begitu tergantung padaku. Darah dagingku begitu terikat denganku.

suami


18 sept 2010 02:10

Terbangun dari tidur karena lampu kamar yang dinyalakan istriku. Ternyata istriku sangat terusik dengan gigitan nyamuk yang sedang mengamuk. Satu dua tepukan ke dinding dan seekor nyamuk yang kenyang mati berdarah-darah. Beberapa tepukan lagi di kakiku, tapi kali ini luput. Nyamuk yang lincah berhasil meloloskan diri. Aku akhirnya benar-benar bangun. Membelalakan mata dan menggeser tubuh menuruni tampat tidur. Istriku bertanya, hendak ke mana. Kamar mandi, pipis. Aku ikut. Kami kencing bersama di kamar mandi.

Kembali ke kamar, aku sudah tidak bisa tidur lagi. Mata dan pikiran tidak bisa dipaksa memejam lagi. Terlebih otak. Beragam pikiran kembali mengganggu. Persoalaan siang muncul lagi. Kesan terhadap orang-orang di tempat kerja berputar lagi. Pikiran membuat dialognya sendiri. Mewakili diri sendiri dan pribadi-pribadi lain yang ikut dalam dialog. Tidak adil memang. Menempatkan pikiran sendiri di kata-kata yang keluar dari mulut yang diandaikan milik orang lain. Tapi apa boleh buat, otak sudah bermain sendiri dengan aturan yang dibuatnya secara sepihak.

Akupun akhirnya menyadari. Tidak semua dialog semu tadi adalah hasil kerja otak. Perasaanku ikut mempengaruhi munculnya dialog imajiner tadi. Rasa tidak suka pada pribadi-pribadi tertentu membuat kalimat-kalimat dialog menjadi sarkastis. Pongah tak kenal sopan-santun. Sekali lagi, apa boleh buat. Otonomi otakku punya kuasa mutlak untuk memainkan kata-kata sekehendak hati. Kalau sedang marah ya biarkan saja. Mumpung pribadi yang dihadirkan tidak hadir secara riil dalam dialog ini.

Tapi ini tidak baik. Melelahkan dan kekanak-kanakan. Lebih baik membuat rencana untuk berbicara langsung dengan pribadi-pribadi yang tidak disenangi tadi. Pasti kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mereka adalah kalimat -kalimat yang orisinil. Sehinga dengan demikian saya mendapatkan kepastian pendapat atas persoalaan yang sedang kami hadapi.

Ya sudahlah, begini mungkin lebih baik. Lebih jujur dan dewasa. Serta merta aku teringat umurku sudah tiga puluh dua. Sudah kepala tiga, tapi apakah aku sudah cukup dewasa? Terutama dalam menghadapi persolan-persoalaan yang aka temukan dengan pribadi-pribadi lain di tempat kerjaku. Jujurlah. Ini kesempatan untuk mengasah kejujuran diri yang pada gilirannya membawa diri pada tingkat kedewasaan tertentu.

Jujur. Mengakui kekurangan dan kelebihan diri sendiri maupun orang lain. Jangan takut pada kekuasaan karena ia tidak pernah bisa menguasai dirimu secara mutlak. Engkaulah orang yang paling berkuasa atas dirimu sendiri. Gunakanlah kekuasaanmu itu sebaik-baiknya karena pasti akan dituntut tanggung jawab atas apa yang telah engkau kerjakan dengan kekuasaanmu itu. Mari berhamba pada kebenaran, karena kebenaranlah jalan yang menuntun kekuasaan pada kemuliaan.

Cukup. Waktu sudah menunjukan pukul 02:45. sudah saatnya kembali tidur. Mata dan pikiran sudah mulai meredup. Semoga besok pagi ada dialog yang lebih menyenangkan dan membangun.


Minggu 03:50

Istriku membangun aku untuk mengantarnya ke kamar mandi. Kami terbangun tapi tidak begitu dengan anak kami. Istriku merasa perutnya sakit tapi tidak ada gerakan apa-apa dari anak kami. Ia memintaku untuk memasang telingaku ke perutnya. Aku menurutinya saja. Di beberapa tempat aku coba menangkap detakan kecil yang muncul dari dalam perut. Berpindah lagi ke bagian perut yang lain. Sampai kira-kira ada tiga bagian perut yang kutelusuri tapi sama saja. Kosong. Tidak ada detakan atau dentuman sama sekali. Istriku bertanya, bagaimana. Aku ragu-ragu memberi jawaban. Akhirnya kusampaikan saja dengan suara yang kurang pasti. Ada. Aku kembali keposisi normal. Kepala kembali sejajar lagi dengan istriku. Tapi tanganku tetap kutempelkan di perutnya. Beberapa detik kemudian anakku memberi tanda. Satu gerakan kecil dari dalam perut tapi itu sudah cukup untuk memberitahu kami. Aku di sini papa, ibu. Istriku pun kemudian mulai merasakan gerakan-gerakan kecil yang sama di dalam perutnya. Maaf ya dek, ibu membangunkanmu. Ya ibu dan bapak sudah tahu, ayo bobok lagi.


Sabtu, 25092010

Mata yang begitu berat. Kelelahan menambah lemah dan pening. Ingin tidur yang lama dan lelap. Ingin hilang sejenak. Pergi jauh entah ke mana. Pergi dalam tenang. Dalam terlelap yang panjang…

Setelah berhari-hari terombang ambing kegalauan, semua akhirnya mulai menampakkan kejelasan. Cepat atau lambat harus segera dibuat pilihan. Mungkin memang belum tepat waktunya. Tapi setidaknya jalan serius ke sana sudah harus mulai dirintis.

Terkadang kita tidak pernah tahu mengapa kita begitu dibenci sampai pada waktunya kebenciaan itu sendiri yang menjelaskan dirinya. Aku sesungguhnya tidak pernah yakin pada alasan yang bersifat negatif karena yang negatif hanyalah privasio, ia sebenarnya tidak pernah ada. Sehingga sebenarnya yang selalu kurenungkan adalah kebaikan apa, hal positif apa yang sesungguh aku belum lakukan padahal semestinya sudah harus kulakukan. Ya, pasti ada yang belum sempat hadir. Untuk itulah aku harus lebih proaktif. Bukan cari muka pada atasan. Tapi lebih sebagai cara untuk menunjukkan potensi diri yang belum teraktualisasi secara maksimal.

Siapa menyangka semua bisa begini…

Mari lebih serius mengembangkan potensi diri.. Bukan untuk memamerkan kebolehan tapi semata demi pengem bangan diri. Kalau di sini tidak diakui masih ada tempat yang lain, bukan? Sebuah kemampuan yang diasahkan dengan kesabaran akan lebih menunjukkan hasil yang optimal.

I believe in You, Jesus.

Tuhan Kutak dapat jalan sendiri


Sabtu, 09102010

SMS (Surabaya Medical Service) pukul 13,15 khabar itu datang. Besok pagi-pagi sekali kami harus kembali karena operasi cesar akan segera dilakukan pukul 07.00. ya Tuhan trima kasih untuk semuanya


Minggu, 10102010

SMS …. Aku ingin mengurai detailnya. Tapi nanti sajalah.

Pukul 21.46, aku duduk disamping istriku, menemaninya dalam diam. Sesekali ia minta minum dan aku segera menyodorkan segelas air putih. Dengan bantuan sedotan, ia menyedot seteguk air putih. "cukup, mas". Tubuhnya terbaring lemas, tangan masih dipasangi infus, 'ringer laktat', yang tinggal seperenambelas botol isinya. Ia memberi sinyal padaku bahwa infusnya sudah hampir habis. Matanya kemudian memejam lagi. Aku diam-diam mengamati wajah diamnya yang telah begitu sering kupandangi. Ingin kuceritakan detailnya kepadanya tapi akal sehatku masih belum bisa diajak kompromi.

Tubuhnya membujur lurus, dibungkus kain batik coklat yang di bawah dari rumah. Ia enggan memakai kain panas rumah sakit. Selang keteter menyembul keluar dari balik batik tepat dari bawah lutut. Selangnya terus menjulur dan bermuara di kantong plastik yang diletakkan di kolong tempat tidur. Kantong itu sudah hampir penuh. Cairan kuning yang bercampur dengan warna merah darah mulai menyesaki kantong itu.

"kantongnya hampir penuh sayang"

"nanti bilang mbaknya, tolong ajari cara membuang cairannya."

"Oh.."


Aku lelah, mata berat. ingi n sekali istirahat. Sudah dari pukul 03.00 subuh, aku terbangun, membangunkan istriku dan siap-siap berangkat ke SMS. Sedikit kepagian kami tiba di SMS, melapor diri dan memasuki kamar Rosela 6-7.

Pukul 06.00, pakaian istriku diganti dengan pakaian operasi. Setengah jam kemudian kami bergegas ke kamar operasi. Di depan kami menunggu. Begitupun dengan para assisten dokter. Ternyata bu dokter belum tiba. Melepas ketegangan kami mulai lagi bercanda. Marianus menggodai Maksi. Mama dan Vita tersenyum-senyum sendiri di sudut ruangan. Aku memegang tangan kursi roda dan coba membuat urutan kecil di leher istriku. Aku sedang membuat istriku tenang. Ia menatap padaku dan tersenyum. Semuanya akan baik-baik saja kan?

Waktu menunggu semakin lama karena Bu Dokter belum juga datang. Satu jam telah berlalu. Gurauan sudah tidak menggelitik lagi. Diganti rasa ngantuk yang sangat. Kegelisahan kulihat mulai membayangi raut wajah istriku. Aku coba menenangkannya. Rosario biru masih digenggam tangan kanannya, sementara tangan kirinya mengusap perutnya yang semakin terasa sakit. Yang sabar ya nak.


Pukul 07.50 bu Dokter tiba. Sedikit basa-basi ia menyapa istriku dan seorang assistennya mengambil alih kursi roda istriku untuk dibawah masuk. Kami tidak boleh masuk. Dari pintu kaca kami berdoa semoga semuanya berjalan lancar.

Pukul 08.00 bu dokter masuk ke kamar oprasi dan sepuluh menit kemudian…

Pukul 08.10 tangis anakku mengelegar memecah pagi itu. Menembus lorong ruang operasi dan sampai di hatiku. Membuat jantungku berdebar semakin kencang. Aku histeria dalam bahagia. Ada perasaan aneh yang sulit digambarkan. Terima kasih Tuhan. Kemudian anakku dibawah keluar menuju ruang bayi. Seluruh tubuhnya dibungkus kain kecuali wajahnya. Di depan pintu keluar suster perawat menunjukkan wajahnya pada kami. Kelihatan wajah ketakutannya dan tangisnya yang tak mau berhenti.