Senin, 21 Mei 2012

PENGUTUSAN DAN PERUTUSAN KE "DUNIA"



Dalam Yoh 14:17 dikatakan bahwa "dunia" tidak dapat menerima Roh Kebenaran karena tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Ditegaskan selanjutnya bahwa para murid mengenal Dia sebab ia menyertai mereka dan akan tinggal di dalam diri mereka.  Ayat ini sarat dengan muatan rohani.
Pertama-tama hendak disoroti bahwa menjadi murid Yesus itu berarti hidup mewaspadai gerak gerik kekuatan-kekuatan jahat, yakni "dunia". Dalam Injil Yohanes kata "dunia" (kosmos) dipakai dalam arti seperti itu. (Di dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru lainnya kata kosmos tampil lebih dalam arti netral, tempat manusia hidup.) Bagi Yohanes, tempat manusia hidup itu, dunia,  sudah dikuasai kegelapan. Dunia tidak mengenal Sang Sabda lagi walaupun diciptakan olehNya. Jadi dunia itu menyangkal asal usulnya sendiri dan dengan demikian mengubah diri menjadi tempat kegelapan, bukan tempat terang yang diciptakan oleh Sabda pada hari pertama itu. Karena itulah dalam Yoh 14:17 dikatakan dunia tidak bisa menerima Roh Kebenaran. Dunia seperti itu tidak memiliki kepekaan akan kehadiranNya. Lebih buruk lagi, dunia tidak mengenal asal usulnya sendiri. Tidak tahu asal serta tujuannya. Ini penderitaan terbesar. Namun rupa-rupanya dunia yang demikian ini bahkan tidak tahu bahwa menderita kehilangan persepsi akan asal dan tujuan sendiri.
Semua ini disodorkan kepada murid bukan untuk mengecam dunia dan menghukumnya, melainkan agar mengasihaninya dan mencarikan jalan bagi yang ada dalam kegelapan. Dalam upaya inilah murid-murid akan dikuatkan oleh dampingan Roh Kebenaran dan bimbingan sang Penolong sendiri. Jadi pengetahuan bahwa sang Penolong datang itu bukan untuk ditimang-timang belaka dan menjamin rasa aman sendiri, melainkan agar diamalkan demi kembalinya dunia kepada terang. Jadi ada pengutusan (=perihal mengutus) dan perutusan (hal-hal bersangkutan dengan maksud pengutusan) yang besar bagi para murid.
Dalam cara berpikir Yohanes, para murid itu bahkan jadi tempat Roh Kebenaran tinggal. Seperti kemah tempat berlindung di padang gurun yang penuh bahaya. Sekali lagi gambaran ini membuat murid-murid menyediakan diri bagi orang-orang yang terancam kekuatan-kekuatan gelap "dunia" yang menolak kehadiran ilahi tadi.

Kamis, 10 Mei 2012



ALLELUYA DI TENGAH PARA KORBAN
Pengantar
Merayakan paskah berarti merayakan kemenangan. Nyanyian Alleluya yang dikumandangkan di setiap perayaan paskah; dan selanjutnya di setiap hari Minggu, sesungguhnya merupakan letupan gegap gempita  sebuah kemenangan. Kemenangan karena memang ada yang telah dikalahkan, yaitu penderitaan dan kematian. Jadi seruan Alleluya itu adalah klimaks dari tese-tese panjang perjalananan melintasi penderitaan. Namun terkadang symphoni Alleluya ini, digubah begitu meriah sehingga membuat orang tercengang dan segera melupakan jalan derita yang mengantarnya pada puncak kemenangan itu. Apalagi ketika symphoni Alleluya itu dinyanyikan di tengah sebuah dunia yang sangat mengagungkan kemenangan. Nyanyian alleluya akan segera menjadi ‘obat bius’ yang akan dengan mudah membawa orang melayang di awan-awan walaupun sesungguhnya kakinya masih menyentuh bumi.
Sejarah hidup manusia, memang, selalu merupakan sejarah kemenangan. Bahkan sejarah yang memihak orang-orang yang menang. Hanya orang-orang yang menanglah yang selalu dikenang dalam sejarah. Oleh karena itu semua orang selalu berpacu untuk merebut kemenangan. Semua orang ingin menunjukan bahwa ia lebih berkuasa dari orang lain. Ia lebih unggul dari orang lain.
Konsekuensi dari sejarah kemenangan adalah korban; orang-orang yang menderita kekalahan karena tidak berdaya melawan orang yang lebih kuat. Apakah korban-korban ini masih mempunyai tempat dalam sejarah dunia yang sangat mengagungkan kemenangan? Dalam hubungannya dengan paskah; bagaimana kita dapat menyerukan Alleluya di tengah suasana kekalahan? Bukankah malah akan terdengar sangat ironis, sarkartis, kontradiftif? Alleluya selalu identik dengan kemenangan, bukan? Sepertinya ada perasaan puas yang dipaksakan sehingga yang kemudian muncul malah perih yang menyayat sekali. Jadi, persoalan kita sekarang adalah bagaimana mengajak para korban menyanyikan Alleluya dalam suatu paradigma baru yang tidak menyinggung perasaan atau menyepelekan keadaan derita mereka? Untuk menjawab persolaan ini saya akan coba menelusuri teologi pengharapan Jürgen Moltmann untuk sedikit memberi terang pada makna kebangkitan atau nyanyian Alleluya bagi para korban.
Alleluya Dalam ‘Partitur’ Jürgen Moltmann[i]
Menurut Moltmann, kebangkitan tak dapat dipikirkan tanpa melatarinya pada peristiwa salib. Sebab kebangkitan adalah sebuah peristiwa yang sekaligus mau memperkenalkan siapa yang mati di salib. Dari kebangkitanlah dinyatakan kepada dunia bahwa yang mati di salib adalah Putra Allah. Moltmann memberi makna pada dua peristiwa besar dalam kehidupan Yesus ini dengan menempatkannya dalam dua periode waktu, yakni masa kini dan masa yang akan datang. Kebangkitan Kristus adalah antisipasi dari Allah yang akan datang; yang mampu mengalahkan maut dan kematian. Sedangkan kematian Kristus di salib adalah realitas Allah untuk kita saat kini. Allah di tengah dunia yang tidak abadi, yang mematikan.
Dengan memusatkan perhatian pada peristiwa Golgota, Moltmann merefleksikan Allah yang menderita ini, dalam persitiwa Allah Trinitas. Dari atas salib, Putra Allah berseru dengan suara nyaring; “Eli, Eli Lama Sabaktani? Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” inilah teriakan seorang Putra yang merasa telah ditinggalkan Bapaknya, justru pada saat Ia sangat membutuhkan kehadiran Bapaknya. Karena Yesus adalah Puatra Allah, maka kita melihat di sini Allah yang telah disalibkan. Allah yang menderita dan wafat. Hanya Allah yang menderita adalah Allah yang dapat dipercaya dan sekaligus Allah yang mencinta.
Senja di Golgota juga menjadi begitu penting dalam sejarah umat manusia, karena dalam ke-ilahian-Nya yang menderita, Allah melepaskan atribut atau sebutan-sebutan tradisional-Nya,[ii] dan ‘minum’ sampai ketegukan yang terkahir, keputusasaan yang menyayat hati dan penderitaan kematian yang mendalam sekali.  Sampai di sini kita mungkin bertanya; kalau Allah menderita bukankah penderitaan sudah tidak dapat lagi dibungkamkan seluruhnya pada-Nya? Apakah para korban masih dapat ditolong oleh Allah yang lemah dan menderita?
Penderitaan Allah tentu tidak dapat dipikirkan sama seperti penderitaan manusia. Bagi Moltmann, Allah yang tersalib, Allah yang tak berdaya dan menderita laksana cermin yang menunjukkan kepada dunia wajah dunia itu sendiri yang sebenarnya. Moltmann menulis, “pada salib akan terungkap dan tampak jelas keterjauhan semua mahluk dan dunia dari Allah, dan salibpun menunjukan kenyataan belum terpenuhinya kerajaan Allah di dunia, dimana segala sesuatu akan memperoleh hak; kehidupan dan kedamaian.” Jadi, allah yang menderita mau menunjukan keterlibatan Allah yan sungguh-sungguh dalam kehidupan manusia. Allah yang sungguh-sungguh solider dengan nasib manusia. Dengan masuknya Allah dalam situasi paling kelam dalam kehidupan manusia ini, Allah mau menyelamatkan manusia. Dengan kata lain, tidak ada lagi tempat yang demikian kelam bagi manusia karena telah diterangi oleh Allah sendiri. Dan terang itu muncul secara sangat nyata dalam peristiwa kebangkitan Yesus.
Namun kenyataan kemulian kebangkitan manusia yang telah kian pasti dijamin sendiri oleh kebangkitan Kristus ini masih merupakan suatu eskaton, masih akan datang pada jaman parusia. Kebangkitan itu seperti partitur musik yang masih menanti untuk dimainkan pada suatu waktu, pada suatu ruang tertentu. Karena kebangkitan Kristus sendiri belum mengakiri segala sesuatu. Sejarah kekalahan dan penderitaan masih terus berlangsung. Yang kita hadapi adalah keselamatan dalam tanda salib, keselamatan dalam tanda kehancuran dan kematian: sub contrario.[iii]
Alleluya Untuk Para Korban
Mengajak para korban untuk menyanyikan Alleluya dalam suatu paradigma kemenangan tentulah bukan merupakan suatu tindakan yang membahagiakan, walaupun ajakan itu akan sangat menghibur dan mungkin sejenak dapat membuat mereka sedikit melupakan pengalaman penderitaan mereka. Sebab ketika gegap gempita sorak sorai Alleluya itu berakhir mereka akan kembali terpekur sendiri dalam situasi aktual yang sedang menggerogoti mereka. Karena itu paradigma baru yang harus dibangun dalam suasana paskah adalah Alleluya yang menawarkan harapan. Seruan Alleluya yang demikian harus sungguh-sungguh didasarkan pada peristiwa salib sebagai jalan keselamatan yang harus ditempuh siapa saja yang ingin bangkit.
Dasar dari paradigma baru ini adalah peristiwa salib dan kebangkitan Yesus. Yesus yang tersalib mau menunjukan bahwa Allah hadir dalam penderitaan, hadir sebagai Allah yang tersalib. Ini berarti Allah adalah Dia yang menyertai para penderita. Para korban, semua orang yang menderita, adalah mereka yang hadir dalam penderitaan Allah. Dengan demikian para korban tidak sendirian dalam penderitaannya.
Yesus yang bangkit mau menunjukan bahwa penderitaan dan kematian tidaklah abadi. Kebangkitan menjadi tese puncak di mana jalan panjang penderitaan dan kematian diakhiri. Kebangkitan merupakan masa depan dari peristiwa salib. Semua penderitaan dalam dunia ini telah terangkum dalam penderitaan Yesus. Dengan demikian semua penderitaan juga memiliki masa depan yang sama, yakni kebangkitan di puncak perjuangannya. Di dalam Kristus sebagai jaminannya, penderitaan akhirnya mempunyai tempat akhir yang pasti, namun tempat ini masih harus diungkapkan dalam masa yang akan datang; eskaton.
Tempat yang pasti inilah janji Allah. Janji Allah yang menjadi nyata dalam peristiwa Yesus Kristus ini adalah dasar dari sebuah harapan. Bahkan inilah dasar dari harapan yang militan; terus berharap kendati di hadapkan pada ketidakadilan dan absurditas perjuangan di dunia ini. jalan salib sebagai jalan satu-satunya menuju kebangkitan menjadi jalan yang paling realistis yang harus diambil, kendati jalan itu terasa berat, tertatih-tatih, bahkan mungkin harus jatuh dan bangun lagi.
Harapan akan kebangkitan menjadi satu-satunya kekuatan ketika para korban menghadapi situasi batas di mana segalanya serba tidak pasti. Karena itu mengajak para korban menyanyikan Alleluya sesungguhnya adalah untuk menguatkan langkah-langkah mereka dalam perjalanan salibnya di dunia ini bahwa perjuangan mereka tidak akan berakhir sia-sia. Alleluya di tengah mereka sekaligus menjadi Alleluya untuk bersama mereka berusaha keluar dari situasi penderitaan mereka dengan perjuangan yang terus menerus tanpa kenal lelah.
Penutup
Paskah memang merupakan sebuah kemenangan. Namun paskah itu masih tetap merupakan harapan. Sementara kenyataan yang kita alami, lebih merupakan sebuah perjalanan antara Golgota dan Kebangkitan.
Oleh: Apheles Hugo


[i] Jürgen Moltmann adalah teolog Jerman
[ii] Atribut-atribut itu misalnya Allah pencipta, Allah yang Mahakuasa, Allah yang mampu mengalahkan maut, dan lain-lain.
[iii] Sub contrario arti harafiahnya pertentangan antar bagian. Artinya di dalam kesatuan suatu kalimat itu sesungguhnya ada pertentangan di dalam bagian-bagiannya. Dalam konteks kalimat di atas, Pertentangan itu muncul dalam term keselamatan dan tanda salib. Mungkinkah salib yang merupakan bentuk hukuman itu dapat membawa keselamatan? Menderita tapi selamat?