Senin, 25 April 2011

di HARI JUMAT AGUNG


Sejarah hidup manusia selalu merupakan sejarah kemenangan. Sejarah yang memihak orang-orang yang menang. Semua orang selalu berpacu untuk merebut kemenangan. Walaupun untuk itu ia harus melenyapkan orang lain. Ia harus menyingkirkan orang lain. Ia harus menyingkirkan orang lain bahkan Ia harus membunuh orang lain. Semua orang ingin menunjukan bahwa Ia lebih berkuasa dari orang lain. konsenkuesinya adalah bahwa sebuah sejarah kemenangan selalu meninggalkan korba n. Orang-orang yang menderita kekalahan karena mereka tidak berdaya melawan orang yang lebih kuat. Mereka yang menjadi korban peperangan. Orang-orang yang harus menderita karena harta miliknya yang paling berharga dirampas oleh orang lain secara paksa. Mereka seperti para korban ketidakadilan, korban pemfitnaan atau korban-korban lainnya. Apakah korban-korban ini masih memiliki tempat dalam sejarah dunia yang mengagungkan kemenangan? Apakah ada orang yang masih peduli dengan para korban?

Hari ini umat Kristen seluruh dunia berkumpul di tempat masing-masing untuk mengenangkan peristiwa tragis; tragedi salib di puncak Golgota. Mari kita sejenak bermenung diri dengan peristiwa salib di Golgota itu. Bayangkanlah manusia salib yang tergantung di puncak Golgota. Kedua tangannya terentang antara langit dan bumi, melekat erat pada salib oleh paku yang menembusinya. Akibat posisi badan menggantung, praktis seluruh berat badan bertumpuh pada kedua tangan itu. Bisa dibayangkan, setelah dilukai, tangan yang selalu memberkati dan memberi itu, kini meringis kesakitan, menahan gesekan paku dan nyeri di urat syaraf. Tubuhnya yang suci penuh berlumur darah. Luka-luka bekas cambukan kembali mengeluarkan darah karena terpanggang terik mentari. Kedua kakinya disatukan dan ditembusi paku. Kemudian dari mulutnya keluar keluhan; "eli, eli, lama sabaktani!' Allahku ya Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku?" inilah tindakan seorang Putra yang merasa telah ditinggalkan BapaNya, justru pada saat ia sangat membutuhkan kehadiran BapaNya.

Ya Putra Allah telah disalibkan. Allah yang mahakuasa kini telah menderita. Hanya Allah yang menderita adalah Allah yang dapat dipercaya. Karena ia sungguh-sungguh menunjukkan cintaNya kepada mereka yang dicintanya. Senja di Golgota menjadi begitu penting dalam sejarah umat manusia karena dalam keilahianNya yang menderita, Allah melepaskan atribut, sebutan-sebutan tradisionalNya, dan minum sampai tegukkan terakhir, keputusasaan yang menyayat hati dan penderitaan kematian yang mendalam sekali. Kita lantas bertanya; mengapa Yesus harus menderita begitu hebat sampai mati di salib? Mengapa Putra Allah harus menjadi korban untuk menebus dosa-dosa kita?

Yesus menjadi korban karena cintaNya kepada BapaNya. Karena Yesus adalah korban cinta. Cinta menghendaki agar orang yang dicinta memperoleh kebahagiaan. Karena itu cinta selalu menuntut kesediaan untuk berkorban. Yesus Putra Allah mengalami penderitaan ini bukan karena suatu paksaan dari luar, juga bukan karena Ia tahluk dibawa kekuasaan dunia ini. Namun semata karena Ia taat kepada kehendak BapaNya dan rasa solidaritasnya yang tinggi kepada manusia yang dicintaiNya. Ia rela mengalami pedihnya rasa sakit dan gelapnya kematian.

Namun kita semua tahu bahwa penderitaan dan kematian di salib bukanlah akhir dari segalanya. Kita yakin dan percaya bahwa Yesus akhirnya bangkit mengalahkan kematian. Dari perspektif salib, kebangkitan Yesus harus dibicarakan dari latar salib. Kebangkitan adalah sebuah peristiwa yang sekaligus mau memperkenalkan siapa yang mati di salib. Peristiwa Kebangkitan Yesus mau hendak menyatakan kepada dunia siapa sesungguhnya yang telah mati si salib itu. Dia adalah sungguh Putra Allah. Karena hanya Allah yang dapat mengalahkan maut. Jadi melalui kebangkitanNya, Kristus menjadi antisipasi dari Allah yang akan datang, Allah yang mampu mengalahkan maut dan kematian. Dan melalui kematianNya di salib, Kristus menjadi Allah untuk kita sekarang. Allah di tengah dunia yang mematikan. Inilah makna salib bagi kita; salib adalah tanda solidaritas Kristus dengan kita. Allah yang tersalib, Allah yang tak berdaya dan menderita itu adalah Allah yang tahu betul akan penderitaan manusia, terlebih yang sering menjadi korban, dan Ia mau merasakan dan mengalami sendiri penderitaan para korban itu dengan penderitaanNya sendiri. Inilah Allah yang sungguh-sungguh berpihak pada kita. Setiap orang yang memandang salib akhirnya menyadari bahwa Kerajaan Allah yang dijanjikan Yesus memang belum secara sempurnah terwujud di dunia ini, tetapi ia tetap yakin akan memperoleh kebahagiaan kekal itu karena Yesus, yang telah bangkit, adalah jaminannya.

Di tengah dunia yang meningglkan para korban terkapar sendiri, salib menunjukan kepada kita bahwa Allah yang tersalib selalu hadir juga dalam penderitaan mereka. Marilah kita lebih jauh merenungkan perjalanan hidup kita sendiri. Apakah mungkin para korban itu salah satunya adalah kita sendiri? Sekian sering kita mungkin merasa bahwa kita telah dikianati oleh orang lain. Perjuangann hidup kita di dunia inipun sering memberitahukan kepada kita bahwa lebih banyak penderitaan kegagalan yang kita alami ketimbang kehagiaan kemenangan. Atau sekian sering kita merasa terabaikan, tak dipedulikan, tidak dianggap, sendiri, merana dan ditinggal begitu saja.

Dengan memandang salib, kita kembali diyakinkan bahwa kita tidak menderita sendirian. Yesus tetap meyertai kita karena ia sendiripun pernah mengalami betapa pedihnya penderitaan itu. Dengan membuat tanda salib kitapun percaya bahwa di dalam salib masih ada harapan akan kehidupan yang bahagia setelah salib. Harapan itu harus tetap kita hidupkan karena terus berharap kita bisa menang atas penderitaan di dunia ini. Marilah kita hidup dengan tanda salib sebagai kekuatan kita.