Rabu, 28 November 2012

HE IS MY BOY


He is my boy. he take almost my time of intention. but I loved.
sometime, he is so nauthy as child as usual. but i loved.
he is my papers to learn from and my book to read for.
he gives me many meaning full lesson in  my life.

 

he light up my day likes a sun.
he wakes me up in the morning.
and let me have a long night  to play with. but I loved.
he is my everything


Selasa, 27 November 2012

Multos Annos

Panjang umur ya Ma, 
bertambah satu tahun lagi usiamu. kami ikut bersyukur.
terutama karena Tuhan Yesus, menjagamu dan kita saat-saat kita melewati
jalan berliku dan terjal dalam derap perjalanan keluarga kita.
kami bersyukur  karena Tuhan memberi kami seorang ibu yang bersahaja
tegas dan penuh cinta.
semoga dengan bertambahnya usia, Mama semakin yakin bahwa Tuhan Yesus
selalu setia menciantai kita. dan jangan pernah ragu kalau kami sangat menyayangimu.
amin


Selasa, 06 November 2012

HIDUP INI BERARTI KALAU KITA BERARTI BAGI ORANG LAIN



Semalam saya dan istri saya ke RS dr. Sutomo Karangmenjangan, menjenguk ketua lingkungan kami yang sedang terbaring sakit di lorong ruang IRD. Ia telah terbaring dan kehilangan kesadarannya dari pagi hari dan sampai malam ini, pukul 21.00 WIB belum juga siuman. Ada botol infus bergantung di dekat tempat tidurnya. Gelembung plastic dan selang oksigen terpasang di mulutnya. Napasnya cepat dan dalam. Dadanya seperti terguncang ketika dia harus menarik dan menghembuskan nafasnya. Kami berdoa dan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku sarankan ke anaknya supaya terus bercakap-cakap dengan ibunya walaupun ia belum memberikan respon. Karena ia tetap mendengarnya. Anaknya coba terus berbisik-bisik di telinga ibunya yang belum juga terjaga.
Istriku menyarankan untuk segera diberikan minyak suci. Kami segera menghubungi romo paroki tetapi ternyata semua romo di paroki sedang berada di luar kota. Akhirnya saya coba menghubungi romo kenalanku. Teman seangkatanku dulu. Ia pun bersedia datang. Kami menunggu di depan ruang IRD dan beberapa saat kemudian romo temanku itu pun tiba.
Ia agak kaget ketika kami mengantarnya masuk ke lorong ruang IRD, dimana ada banyak pasien lain yang diletakan berjejer begitu saja di lorong itu. Hilir mudik petugas kesehatan dan keluarga pasien menambah hiruk pikuk di ruangan itu. Sempat terlihat juga beberapa orang polisi yang sedang mengawal pelaku dan korban kecelakaan. Kami segera menuju ke tempat ibu ketua lingkungan. Romo mengatakan harus di sini saja? Ya, kami memberi tahu bahwa memang kami belum diberi kamar. Romo kemudian mengeluarkan stola dan buku pemberkatan, serta tempat menyimpan minyak suci. Berlima; saya, istri saya, putra si ibu, ibu yang sakit dan romo,  mengawali doa yang dipimpin romo. Romo kemudian mengolesi minyak di dahi dan kedua telapak tangan ibu yang sakit. Doa ditutup dengan berkat dari romo. Si ibu memang membelelakan matanya, tapi masih belum ada respon dari tatapan mata itu.
Romo bertanya-tanya sebentar dengan putra ibu yang sakit dan kemudian berpamitan. Kami mengantarnya sampai ke parkiran mobil, mengucapkan terima kasih dan kemudian juga kembali ke rumah kami. Dalam perjalanan pulang aku terus terbayang akan wajah ibu itu. Masih lekat di mataku, ia yang kurus dan rentah karena dikuras sakit paru-paru dan jantung yang akut, tetap setia berjalan membagikan undangan doa lingkungan ke seluruh anggota lingkungannya. Seolah tak peduli dengan kesehatannya sendiri, ia berkeliling meminta sumbangan untuk orang miskin di parokiku. Hidupnya  hanya untuk orang lain.

Sabtu, 03 November 2012

TRAIN

Hai Ayah, lagi ngapauin tuh?

Oh, lagi foto aku ya?

sip. SIAPA DI SANA yAH?

Hey, kamu pingin ikut ya?



Selasa, 23 Oktober 2012

H.A.R.T.A

Luk 12:22-34
“Karena di mana hartamu berada di situ hatimu berada” (Luk 12:34).
Orang-orang modern menaruh target  tinggi terhadap hidupnya dan merencanakan hidupnya dengan program-program yang sedemikian pasti sehingga target ini sedapat mungkin bisa tercapai. Mereka membiarkan diri mereka tengelam dalam aneka kesibukan yang memungkinkan segala rencana hidupnya dapat berjalan dengan sempurnah. Segala kekuatan pikiran, kemampuan merasa dan berempati, daya usaha dan energy rela dihabiskan untuk mencapai yang namanya impian dalam hidup. Mereka rela menyesuaikan dirinya dengan selera dunia jika itu memang hal penting yang disyaratkan guna mencapai kesuksesan hidup. Bahkan tak jarang mereka harus bertarung, mengalahkan dan menyingkirkan orang lain guna menjadi seorang pemenang karena demikianlah yang  dinginkan dunia yang kompetitif. Mereka takut menjadi seorang pecundang, sebab dunia tidak pernah mencatat sejarah orang-orang yang kalah.  Mereka kuatir dicampakkan oleh dunia. Mereka takut tidak dianggap oleh orang-orang di sekitarnya karena tidak mampu menampilkan kwalitas hidup yang tinggi. Dan sekalipun bila semua impiannya telah tercapai, mereka tetap kuatir kalau-kalau keberhasilan mereka akan diambil oleh orang lain. “…mereka kuatir akan hidupnya, akan apa yang akan mereka makan “ (12:22). Mereka kuatir bahwa penampilannya tidak menarik lagi. Tidak langsing atau indah lagi. “…mereka kuatir akan tubuhnya akan apa yang hendak dipakai” (12:22).
Karena dimana hartamu berada di situ pulalah hatimu berada. Tidak ada yang salah mengidamkan harta di dalam hati. Karena dengan demikian kita punya motivasi untuk mengejarnya dengan sungguh-sungguh. Tetapi harta seperti apakah yang sesungguhnya harus menjadi target hidup kita. Yesus hari ini memberi inspirasi positip tentang harta yang tidak dapat menjadi usang, yang tidak dapat didekati pencuri dan tidak dapat dirusakkan ngengat.  Harta itu bukanlah sesuatu yang ditambahkan dari luar. Melainkan harta yang berasal dari dalam diri. “sebab hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian” (12:23). Kedamaian sejati dating karena kedekatan dengan Allah, penyerahan diri pada penyelenggaraan ilahi dan pelayanan pada sesama. Trend hidup modern bukan lagi semangat untuk saling mengalahkan. You must be the winner. Tetapi we must be the winner. Semangat win win solusion. Semua menjadi pemenang. Dengan semangat ini kita mendekati orang lain bukan sebagai lawan melainkan sebagai kawan yang akan saling membantu untuk sama-sama mencapai tujuan kebahagiaan yang sama. Sebagaimana dikatakan oleh Santo Vincentius dalam jalan Vincentius: “ mengasihi seseorang sesungguhnya berarti mengharapkan yang baik bagi orang itu”.

 Oleh: Appeles Hugo

Kamis, 11 Oktober 2012

10.10.12

ayo, mRI TEMan-teman...

hut ku yang ke dua

aku bisa diam lho, duduk di depan

lagi, berdoa sama Mama

moga papa dan mama dpat rejeki yg cukup

amin

sama Athur dan Mandriva

Sabtu, 06 Oktober 2012

m3nghitung hari

ma, natar lagi aku Ulang Tahun lho. tolong tulisin undangan untuk teman-temanku dong
Ya, ayo kita ke sana, katanya di sana ada gajah!
Weeee, ah burung apa tuh...?
hi, jangan ngintip orang mandi dong
setelah ini ke mana ya?






Jumat, 24 Agustus 2012

Hari terasa lambat ketika memacu waktu bersamanya. melihat dia bertumbuh dalam kekocakkan dan kenakalannya yang menggemaskan, membuat memori tentang dia di masa lalu terasa penuh dengan kesungguhan syukur. tak pernah bisa dibayangkan bagaimana dia yang begitu kecil dulu harus berjuang mati-matian di tabung kaca yang mengurungnya. dan kebesaran Tuhan lagi-lagi menjadi saksi teramat dahsyat bagaimana harapan yang iklas tak pernah berakhir sia-sia.
kini dia bagai rajawali yang tak mau dikekang, bergerak cepat, berlari, terbang ke dunianya. kadang terjatuh dan menangis tapi tak mengapa, ia toh sedang belajar.

Senin, 21 Mei 2012

PENGUTUSAN DAN PERUTUSAN KE "DUNIA"



Dalam Yoh 14:17 dikatakan bahwa "dunia" tidak dapat menerima Roh Kebenaran karena tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Ditegaskan selanjutnya bahwa para murid mengenal Dia sebab ia menyertai mereka dan akan tinggal di dalam diri mereka.  Ayat ini sarat dengan muatan rohani.
Pertama-tama hendak disoroti bahwa menjadi murid Yesus itu berarti hidup mewaspadai gerak gerik kekuatan-kekuatan jahat, yakni "dunia". Dalam Injil Yohanes kata "dunia" (kosmos) dipakai dalam arti seperti itu. (Di dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru lainnya kata kosmos tampil lebih dalam arti netral, tempat manusia hidup.) Bagi Yohanes, tempat manusia hidup itu, dunia,  sudah dikuasai kegelapan. Dunia tidak mengenal Sang Sabda lagi walaupun diciptakan olehNya. Jadi dunia itu menyangkal asal usulnya sendiri dan dengan demikian mengubah diri menjadi tempat kegelapan, bukan tempat terang yang diciptakan oleh Sabda pada hari pertama itu. Karena itulah dalam Yoh 14:17 dikatakan dunia tidak bisa menerima Roh Kebenaran. Dunia seperti itu tidak memiliki kepekaan akan kehadiranNya. Lebih buruk lagi, dunia tidak mengenal asal usulnya sendiri. Tidak tahu asal serta tujuannya. Ini penderitaan terbesar. Namun rupa-rupanya dunia yang demikian ini bahkan tidak tahu bahwa menderita kehilangan persepsi akan asal dan tujuan sendiri.
Semua ini disodorkan kepada murid bukan untuk mengecam dunia dan menghukumnya, melainkan agar mengasihaninya dan mencarikan jalan bagi yang ada dalam kegelapan. Dalam upaya inilah murid-murid akan dikuatkan oleh dampingan Roh Kebenaran dan bimbingan sang Penolong sendiri. Jadi pengetahuan bahwa sang Penolong datang itu bukan untuk ditimang-timang belaka dan menjamin rasa aman sendiri, melainkan agar diamalkan demi kembalinya dunia kepada terang. Jadi ada pengutusan (=perihal mengutus) dan perutusan (hal-hal bersangkutan dengan maksud pengutusan) yang besar bagi para murid.
Dalam cara berpikir Yohanes, para murid itu bahkan jadi tempat Roh Kebenaran tinggal. Seperti kemah tempat berlindung di padang gurun yang penuh bahaya. Sekali lagi gambaran ini membuat murid-murid menyediakan diri bagi orang-orang yang terancam kekuatan-kekuatan gelap "dunia" yang menolak kehadiran ilahi tadi.

Kamis, 10 Mei 2012



ALLELUYA DI TENGAH PARA KORBAN
Pengantar
Merayakan paskah berarti merayakan kemenangan. Nyanyian Alleluya yang dikumandangkan di setiap perayaan paskah; dan selanjutnya di setiap hari Minggu, sesungguhnya merupakan letupan gegap gempita  sebuah kemenangan. Kemenangan karena memang ada yang telah dikalahkan, yaitu penderitaan dan kematian. Jadi seruan Alleluya itu adalah klimaks dari tese-tese panjang perjalananan melintasi penderitaan. Namun terkadang symphoni Alleluya ini, digubah begitu meriah sehingga membuat orang tercengang dan segera melupakan jalan derita yang mengantarnya pada puncak kemenangan itu. Apalagi ketika symphoni Alleluya itu dinyanyikan di tengah sebuah dunia yang sangat mengagungkan kemenangan. Nyanyian alleluya akan segera menjadi ‘obat bius’ yang akan dengan mudah membawa orang melayang di awan-awan walaupun sesungguhnya kakinya masih menyentuh bumi.
Sejarah hidup manusia, memang, selalu merupakan sejarah kemenangan. Bahkan sejarah yang memihak orang-orang yang menang. Hanya orang-orang yang menanglah yang selalu dikenang dalam sejarah. Oleh karena itu semua orang selalu berpacu untuk merebut kemenangan. Semua orang ingin menunjukan bahwa ia lebih berkuasa dari orang lain. Ia lebih unggul dari orang lain.
Konsekuensi dari sejarah kemenangan adalah korban; orang-orang yang menderita kekalahan karena tidak berdaya melawan orang yang lebih kuat. Apakah korban-korban ini masih mempunyai tempat dalam sejarah dunia yang sangat mengagungkan kemenangan? Dalam hubungannya dengan paskah; bagaimana kita dapat menyerukan Alleluya di tengah suasana kekalahan? Bukankah malah akan terdengar sangat ironis, sarkartis, kontradiftif? Alleluya selalu identik dengan kemenangan, bukan? Sepertinya ada perasaan puas yang dipaksakan sehingga yang kemudian muncul malah perih yang menyayat sekali. Jadi, persoalan kita sekarang adalah bagaimana mengajak para korban menyanyikan Alleluya dalam suatu paradigma baru yang tidak menyinggung perasaan atau menyepelekan keadaan derita mereka? Untuk menjawab persolaan ini saya akan coba menelusuri teologi pengharapan Jürgen Moltmann untuk sedikit memberi terang pada makna kebangkitan atau nyanyian Alleluya bagi para korban.
Alleluya Dalam ‘Partitur’ Jürgen Moltmann[i]
Menurut Moltmann, kebangkitan tak dapat dipikirkan tanpa melatarinya pada peristiwa salib. Sebab kebangkitan adalah sebuah peristiwa yang sekaligus mau memperkenalkan siapa yang mati di salib. Dari kebangkitanlah dinyatakan kepada dunia bahwa yang mati di salib adalah Putra Allah. Moltmann memberi makna pada dua peristiwa besar dalam kehidupan Yesus ini dengan menempatkannya dalam dua periode waktu, yakni masa kini dan masa yang akan datang. Kebangkitan Kristus adalah antisipasi dari Allah yang akan datang; yang mampu mengalahkan maut dan kematian. Sedangkan kematian Kristus di salib adalah realitas Allah untuk kita saat kini. Allah di tengah dunia yang tidak abadi, yang mematikan.
Dengan memusatkan perhatian pada peristiwa Golgota, Moltmann merefleksikan Allah yang menderita ini, dalam persitiwa Allah Trinitas. Dari atas salib, Putra Allah berseru dengan suara nyaring; “Eli, Eli Lama Sabaktani? Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” inilah teriakan seorang Putra yang merasa telah ditinggalkan Bapaknya, justru pada saat Ia sangat membutuhkan kehadiran Bapaknya. Karena Yesus adalah Puatra Allah, maka kita melihat di sini Allah yang telah disalibkan. Allah yang menderita dan wafat. Hanya Allah yang menderita adalah Allah yang dapat dipercaya dan sekaligus Allah yang mencinta.
Senja di Golgota juga menjadi begitu penting dalam sejarah umat manusia, karena dalam ke-ilahian-Nya yang menderita, Allah melepaskan atribut atau sebutan-sebutan tradisional-Nya,[ii] dan ‘minum’ sampai ketegukan yang terkahir, keputusasaan yang menyayat hati dan penderitaan kematian yang mendalam sekali.  Sampai di sini kita mungkin bertanya; kalau Allah menderita bukankah penderitaan sudah tidak dapat lagi dibungkamkan seluruhnya pada-Nya? Apakah para korban masih dapat ditolong oleh Allah yang lemah dan menderita?
Penderitaan Allah tentu tidak dapat dipikirkan sama seperti penderitaan manusia. Bagi Moltmann, Allah yang tersalib, Allah yang tak berdaya dan menderita laksana cermin yang menunjukkan kepada dunia wajah dunia itu sendiri yang sebenarnya. Moltmann menulis, “pada salib akan terungkap dan tampak jelas keterjauhan semua mahluk dan dunia dari Allah, dan salibpun menunjukan kenyataan belum terpenuhinya kerajaan Allah di dunia, dimana segala sesuatu akan memperoleh hak; kehidupan dan kedamaian.” Jadi, allah yang menderita mau menunjukan keterlibatan Allah yan sungguh-sungguh dalam kehidupan manusia. Allah yang sungguh-sungguh solider dengan nasib manusia. Dengan masuknya Allah dalam situasi paling kelam dalam kehidupan manusia ini, Allah mau menyelamatkan manusia. Dengan kata lain, tidak ada lagi tempat yang demikian kelam bagi manusia karena telah diterangi oleh Allah sendiri. Dan terang itu muncul secara sangat nyata dalam peristiwa kebangkitan Yesus.
Namun kenyataan kemulian kebangkitan manusia yang telah kian pasti dijamin sendiri oleh kebangkitan Kristus ini masih merupakan suatu eskaton, masih akan datang pada jaman parusia. Kebangkitan itu seperti partitur musik yang masih menanti untuk dimainkan pada suatu waktu, pada suatu ruang tertentu. Karena kebangkitan Kristus sendiri belum mengakiri segala sesuatu. Sejarah kekalahan dan penderitaan masih terus berlangsung. Yang kita hadapi adalah keselamatan dalam tanda salib, keselamatan dalam tanda kehancuran dan kematian: sub contrario.[iii]
Alleluya Untuk Para Korban
Mengajak para korban untuk menyanyikan Alleluya dalam suatu paradigma kemenangan tentulah bukan merupakan suatu tindakan yang membahagiakan, walaupun ajakan itu akan sangat menghibur dan mungkin sejenak dapat membuat mereka sedikit melupakan pengalaman penderitaan mereka. Sebab ketika gegap gempita sorak sorai Alleluya itu berakhir mereka akan kembali terpekur sendiri dalam situasi aktual yang sedang menggerogoti mereka. Karena itu paradigma baru yang harus dibangun dalam suasana paskah adalah Alleluya yang menawarkan harapan. Seruan Alleluya yang demikian harus sungguh-sungguh didasarkan pada peristiwa salib sebagai jalan keselamatan yang harus ditempuh siapa saja yang ingin bangkit.
Dasar dari paradigma baru ini adalah peristiwa salib dan kebangkitan Yesus. Yesus yang tersalib mau menunjukan bahwa Allah hadir dalam penderitaan, hadir sebagai Allah yang tersalib. Ini berarti Allah adalah Dia yang menyertai para penderita. Para korban, semua orang yang menderita, adalah mereka yang hadir dalam penderitaan Allah. Dengan demikian para korban tidak sendirian dalam penderitaannya.
Yesus yang bangkit mau menunjukan bahwa penderitaan dan kematian tidaklah abadi. Kebangkitan menjadi tese puncak di mana jalan panjang penderitaan dan kematian diakhiri. Kebangkitan merupakan masa depan dari peristiwa salib. Semua penderitaan dalam dunia ini telah terangkum dalam penderitaan Yesus. Dengan demikian semua penderitaan juga memiliki masa depan yang sama, yakni kebangkitan di puncak perjuangannya. Di dalam Kristus sebagai jaminannya, penderitaan akhirnya mempunyai tempat akhir yang pasti, namun tempat ini masih harus diungkapkan dalam masa yang akan datang; eskaton.
Tempat yang pasti inilah janji Allah. Janji Allah yang menjadi nyata dalam peristiwa Yesus Kristus ini adalah dasar dari sebuah harapan. Bahkan inilah dasar dari harapan yang militan; terus berharap kendati di hadapkan pada ketidakadilan dan absurditas perjuangan di dunia ini. jalan salib sebagai jalan satu-satunya menuju kebangkitan menjadi jalan yang paling realistis yang harus diambil, kendati jalan itu terasa berat, tertatih-tatih, bahkan mungkin harus jatuh dan bangun lagi.
Harapan akan kebangkitan menjadi satu-satunya kekuatan ketika para korban menghadapi situasi batas di mana segalanya serba tidak pasti. Karena itu mengajak para korban menyanyikan Alleluya sesungguhnya adalah untuk menguatkan langkah-langkah mereka dalam perjalanan salibnya di dunia ini bahwa perjuangan mereka tidak akan berakhir sia-sia. Alleluya di tengah mereka sekaligus menjadi Alleluya untuk bersama mereka berusaha keluar dari situasi penderitaan mereka dengan perjuangan yang terus menerus tanpa kenal lelah.
Penutup
Paskah memang merupakan sebuah kemenangan. Namun paskah itu masih tetap merupakan harapan. Sementara kenyataan yang kita alami, lebih merupakan sebuah perjalanan antara Golgota dan Kebangkitan.
Oleh: Apheles Hugo


[i] Jürgen Moltmann adalah teolog Jerman
[ii] Atribut-atribut itu misalnya Allah pencipta, Allah yang Mahakuasa, Allah yang mampu mengalahkan maut, dan lain-lain.
[iii] Sub contrario arti harafiahnya pertentangan antar bagian. Artinya di dalam kesatuan suatu kalimat itu sesungguhnya ada pertentangan di dalam bagian-bagiannya. Dalam konteks kalimat di atas, Pertentangan itu muncul dalam term keselamatan dan tanda salib. Mungkinkah salib yang merupakan bentuk hukuman itu dapat membawa keselamatan? Menderita tapi selamat?