“SI DEUS, UNDE MALUM?”

Merapi Dalam Kerangka Teodice Immanuel Kant
 Kita melihat di televisi, membaca dari Koran-koran atau menyaksikan dari dekat dan mungkin mengalami sendiri, bagaimana penderitaan dihadirkan bagaikan sebuah drama tragedy kolosal yang tak ada habis-habisnya. Bahkan sering  episode-episodenya diputar ulang layaknya sebuah iklan yang ingin menyentuh hati para pemirsa. Ada ibu-ibu yang berteriak-teriak sambil menggendong anaknya yang tidak bernyawa lagi. Ada  tubuh tak bernyawa yang harus ditarik ke luar dari tumpukan reruntuhan beton-beton bangunan dan debu. Ada anak-anak yang menjerit mencari-cari ayah dan ibunya. Semuanya terpampang dan hadir di hadapan kita begitu saja. Bencana Merapi di Magelang dan disusul banjir lahar dingin telah banyak menyita perhatian kita dan  menyentuh nurani untuk peduli kepada para korban.
Bersamaan dengan tayangan televisi dan berita-berita media cetak, muncul pula beragam komentar, lagu, syair, doa,dan puisi yang mencoba memberi penghiburan, atau sekedar turut meratap, atau mencari-cari sebab dari tragedy yang memilukan ini. Ada pula yang mencoba mengais-ngais makna di balik derita tak terselami ini. Namun ada yang pasrah saja, tak ada kata, tak ada suara, Cuma pandangan kosong yang tetap menyimpan satu tanda Tanya besar. MENGAPA?
Sayapun ingin merefleksikan bencana gempa ini, namun bukan  untuk menjawab pertanyaan besar di atas, melainkan untuk memberi pesan kepada para korban dan kita yang peduli kepada mereka, untuk tidak pernah berhenti berharap. Refleksi saya ini adalah sebuah refleksi Teodicis dengan memakai kerangka Teodice dari seorang filsuf Jerman, Emmanuel Kant. Mengapa Teodice? Mengapa Immanuel Kant?
Apa itu teodice? Kata teodice selalu dipakai dalam hubungan dengan filsafat ketuhanan, terutama dalam pembicaraan yang khusus, mengenai penyelenggaraan dan keadilaan Allah di hadapan fakta adanya keburukan, kejahatan atau penderitaan (malum). Secara etimologis, teodice berasal dari ungkapan Yunani; Theos: Allah, dan Dike: Keadilan, sehingga pertama-tama teodice berarti penelaahan mengenai masalah keadilan Allah dan penyelenggaraan Allah berdasarkan terang akal budi semata-mata. Refleksi-refleksi Teodicis selalu dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang mencoba mencari makna dari penderitaan. Misalnya, Mengapa Penderitaan itu mungkin? Siapakah yang bertanggungjawab atas penderitaan di atas dunia ini? Apakah mungkin mengatasi penderitaan?
Secara historis pertanyaan Teodice sudah dirumuskan secara klasik oleh Epikurus, seorang fisul Yunani kuno; “Si Deus est, unde malum?” secara lengkap pertanyaan itu berbunyi: “ Atau Allah mau mengatasi malum tapi Dia tidak  dapat melakukannya, atau Dia dapat tapi tidak mau melakukannya, atau Dia tidak dapat dan tidak mau melakukannya? Apabila Dia mau tetapi tidak dapat maka Dia lemah, sesuatu yang tidak cocok untuk Allah. Kalau Dia dapat tetapi tidak mau maka dia jahat, dan inipun bukan sifat Allah. Kalau Dia tidak mau dan tidak dapat, maka Dia sekaligus jahat dan lemah. Tentunya ini adalah asing bagi Allah. Tetapi kalau Dia dapat dan mau,hal yang memang patut untuk Allah,dari mana asal malum dan mengapa Dia tidak meniadakannya?”

Kritik Immanuel Kant
Seringkali terhadap pengalaman penderitaan, orang tergesa-gesa membuat kesimpulan atau penjelasan yang coba memuaskan keinginan akal budi manusia semata. Misalnya orang sering mengatakan bahwa bencana ini merupakan ujian dari Tuhan, atau bencana ini merupakan  peringatan dari Allah bagi kita yang masih hidup. Dengan penjelasan seperti ini, kita akan mendapat kesimpulam bahwa yang bersalah adalah manusia sehingga harus diperingati, dengan demikian membebaskan Allah dari segala tuduhan.
Immanuel Kant, seorang Fisuf modern dari Jerman, mengkritik kesimpulan seperti ini sebagai suatu upaya untuk “menyogok” Allah. Kant lebih tertarik dengan teodice otentik seperti yang pernah dipraktekkan oleh Ayub. Teodice otentik itu memenuhi dua kriteria ini: Pertama, teodice otentik memakai takaran etis yang sama untuk Allah dan manusia. Menurut Kant kesimpulan-kesimpulan di atas memakai takaran etis yang berbeda untuk Allah dan manusia, karena kesimpulan itu mengatakan penderitaan yang ada dalam dunia ini disebabkan oleh kesalahan manusia. Padahal manusia cendrung membuat kesalahan karena ia adalah mahluk terbatas. Bagaimana manusia dikatakan memiliki tanggung jawab moral atas adanya penderitaan di dunia, kalau Allah sendiripun tidak dapat menghindarinya? Argument seperti ini lebih banyak menggangu daripada menyelesaikan persoalaan. Sebab secara implisit Allah disebut sebagai yang turut menyebabkan penderitaan, karena Dialah yang menciptakan manusia sebagai mahluk terbatas.
Kedua, Teodice otentik ingin menggunakan kemampuan intelek manusia dalam wilayah kesanggupannya. Kant menulis: Seluruh dunia adalah sebuah system yang diatur menurut hukum sarana-tujuan. Manusia sebagai mahluk etis, mempunyai hak untuk memperoleh kebahagiaan dari tindakan etis yang dilakukannya. Jadi dapat dikatakan bahwa tindakan etis yang dilakukan manusia mendapat pamrih berupa kebahagiaan. Namun di dunia, sering kali ia dikecewakan karena perbuatan etisnya tidak selalu menjadi jaminan untuk mendapatkan kebahagiaan.  Apa yang diharapkannya sebagai tujuan perbuatan baiknya tidak tercapai. Dalam konteks inilah Kant membicarakan tentang malum, yakni adanya kenyataan sesuatu tidak selalu terarah pada tujuannya. Pengalaman seperti ini tidak dapat dijelaskan oleh akal budi, sebab rasio/akal budi manusia hanya dapat menjelaskan sesuatu berdasarkan penentuan keterarahan kepada tujuan.
Terhadap kenyataan keterbatasan rasio ini, Kant mengatakan bahwa satu hal yang harus tetap dilakukan seseorang adalah berharap. Pengalaman manusia membuktikan bahwa orang selalu berjuang untuk keluar dari penderitaan. Kalau penderitaan itu sudah demikian membuat orang tak berdaya, dari mana asalnya daya juang yang masih tersisa itu? Menurut Kant harus diandaikan akan adanya suatu dunia etis di mana dijamin keselarasan antara moralitas dan kebahagiaan. Yang mungkin bagi intelek manusia adalah menerima secara rasional harapan akan adanya suatu dunia adikodrati yang benar yang di dalamnya ada kebijaksanaan moral. Harapan itu bukan pertama-tama bersifat teoritis, melainkan bersifat praktis.
Dengan demikian tujuan teodice menurut Kant adalah untuk menguatkan pengharapan bahwa Allah akan memakai kemampuan intelek kita untuk menginterpretasikan kehendak-Nya. Konsekuensi dari teodice ini adalah membiarkan Allah sendiri bertanggung jawab atas apa yang diciptakanNya. Allah sendiri dibiarkan membela diriNya. Di sinilah terletak misteri Allah. Ia tidak dapat ditangkap sepenuhnya oleh intelek manusia, namun Ia sungguh ada untuk menjamin harapan manusia akan kebahagiaan.
Harapan, akhirnya menjadi suatu kesalehan teodice yang harus dibangun dan dimiliki oleh setiap orang. Tanpa  harapan manusia sepenuhnya hanya menjadi permainan nasib. Sebab hidupnya akan lebih dipenuhi dengan penyesalan-penyesalan yang berhubungan dengan masa lalunya dan tidak sedikitpun memberi kemungkinan yang dibutuhkan untuk keluar dari penderitaannya.  Karena itu harapan juga merupakan daya dorong yang kuat bagi manusia untuk tetap menghayati hidup yang memiliki tujuan, yakni kebahagiaan. Pengharapan memang tidak merubah realitas dengan sendirinya, atau dengan perkataan lain pengharapan saja memang belum cukup. Namun tanpa pengharapan usaha untuk keluar dari penderitaan akan bersifat lemah, tanpa dasar yang kokoh. Oleh karena itu pengharapan sebagai kesalehan teodice, memelurkan realisasinya dalam praktek. Akhirnya, di tengah penderitaan yang tak terpahami ini, kita harus tetap berharap dalam Allah yang memiliki kuasa maha dahsyat dan sekaligus yang menjadi asal dan tujuan dari kebahagiaan.

Tidak ada komentar: