Selasa, 26 Juli 2011

RELIGIOSITAS


Seorang siswa SMP pernah mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku saat pelajaran agama. “Pak, sebenarnya apa yang menjadi garansi seseorang dapat masuk surga? Agamanya atau imannya?” saya kenal betul siswa ini. Dia belum memeluk satu agama pun karena orang tuanya berpikir agama merupakan urusan pribadi. Dia bisa menentukan sendiri agamanya bila sudah mantap untuk memilih agama mana yang akan dianutnya.

Karena itu saya tidak ingin memberi jawaban spontan yang terlalu dangkal. Bila saya memberi jawaban iman, sebagaimana mestinya dijawab begitu, maka ia akan semakin sumringah karena dengan begitu orang tidak harus beragama. Yang berarti sama dengan mengukuhkan pendiriannya saat ini. Agama hanya membuat orang terkotak-kotak karena masing-masing agama cendrung menonjolkan perbedaannya daripada kesamaannya. Karena itu baginya beriman saja sudah cukup.

Sedangkan bila saya memberi pilihan jawaban pada agama. Maka ia malah akan semakin ngakak terbahak-bahak. Karena dia punya bukti-bukti otentik yang dapat memperlihatkan secara gamblang rentetan orang-orang beragama yang sangat mungkin tidak dapat masuk surga karena mereka secara sadar melakukan perbuatan-perbuatan yang justru dilarang oleh agama mereka sendiri. Ambil sebagai contoh, pembunuhan , korupsi, manipulasi/penipuan, aborsi, saling menghujat, saling membenci, iri hati, dendam dan lain sebagainnya.

Akhirnya saya mulia menjawab dengan memberikan anologi ini. Hidup ibarat ziarah panjang menuju satu titik akhir. Iman adalah keyakinan dasar manusia bahwa titik akhir itu adalah kembali pada Sang Khalik, Penciptanya. Agama ibarat jalan yang dapat menghantar orang pada tujuan akhir itu. Bagaimana mungkin orang dapat sampai pada tujuan kalau tidak melewati sebuah jalan? Agama karenanya, dapat dilihat sebagai condition sine qua non untuk mencapai sang pencipta.

Selasa, 12 Juli 2011

CHANGE BEGINS CHOICE


any day we wish, we can discipline ourselves to change it all. any day we wish, we can open the book taht will open our mind to new knowledge. any day we wish, we can start a new activity. any day we wish, we can start a process of life change.

we can do it immediately, or next week, or next month, or next year. We can also do nothing. We can pretend rather than perform.

And if the idea of having to change ourselves makes us uncomfertable, we can remain as we can choose rest over labor, entertainment over education, delusion over turth, and doubt over confidence. The choices ours to make. But while we curse the effect, we continue to nourish the cause.

As Shakespeare uniquely observed, “The fault is not in the start, but in ourselves.”

We created our circumstances by our past choices. We have both the ability and the responsibility to make better choices beginning today.

Those who are in search of the good life do not need more answer or more time to think things over to reach better conclucions. They need the turth. They need the whole turth. And they need nothing but the turth.

We can not allow our errors in judgment, repeated every day, to lead us down thewrong path. We must keep coming back to those basics that make the biggest difference in how our life works out. And than we must make the very choices that will bring life, happiness and joy into our daily lives.

And, if may be so bold to offer my last pice of advice, for someone seeking and needing to make changes in their life-if you don’t like how things are, change it! You are not a tree. You have the ability to totally transform every area in your life- and it all begins with your very own power of choice.

(KUMON CLASS DIARY,

Kumon Margorejo-Surabaya)



Senin, 25 April 2011

di HARI JUMAT AGUNG


Sejarah hidup manusia selalu merupakan sejarah kemenangan. Sejarah yang memihak orang-orang yang menang. Semua orang selalu berpacu untuk merebut kemenangan. Walaupun untuk itu ia harus melenyapkan orang lain. Ia harus menyingkirkan orang lain. Ia harus menyingkirkan orang lain bahkan Ia harus membunuh orang lain. Semua orang ingin menunjukan bahwa Ia lebih berkuasa dari orang lain. konsenkuesinya adalah bahwa sebuah sejarah kemenangan selalu meninggalkan korba n. Orang-orang yang menderita kekalahan karena mereka tidak berdaya melawan orang yang lebih kuat. Mereka yang menjadi korban peperangan. Orang-orang yang harus menderita karena harta miliknya yang paling berharga dirampas oleh orang lain secara paksa. Mereka seperti para korban ketidakadilan, korban pemfitnaan atau korban-korban lainnya. Apakah korban-korban ini masih memiliki tempat dalam sejarah dunia yang mengagungkan kemenangan? Apakah ada orang yang masih peduli dengan para korban?

Hari ini umat Kristen seluruh dunia berkumpul di tempat masing-masing untuk mengenangkan peristiwa tragis; tragedi salib di puncak Golgota. Mari kita sejenak bermenung diri dengan peristiwa salib di Golgota itu. Bayangkanlah manusia salib yang tergantung di puncak Golgota. Kedua tangannya terentang antara langit dan bumi, melekat erat pada salib oleh paku yang menembusinya. Akibat posisi badan menggantung, praktis seluruh berat badan bertumpuh pada kedua tangan itu. Bisa dibayangkan, setelah dilukai, tangan yang selalu memberkati dan memberi itu, kini meringis kesakitan, menahan gesekan paku dan nyeri di urat syaraf. Tubuhnya yang suci penuh berlumur darah. Luka-luka bekas cambukan kembali mengeluarkan darah karena terpanggang terik mentari. Kedua kakinya disatukan dan ditembusi paku. Kemudian dari mulutnya keluar keluhan; "eli, eli, lama sabaktani!' Allahku ya Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku?" inilah tindakan seorang Putra yang merasa telah ditinggalkan BapaNya, justru pada saat ia sangat membutuhkan kehadiran BapaNya.

Ya Putra Allah telah disalibkan. Allah yang mahakuasa kini telah menderita. Hanya Allah yang menderita adalah Allah yang dapat dipercaya. Karena ia sungguh-sungguh menunjukkan cintaNya kepada mereka yang dicintanya. Senja di Golgota menjadi begitu penting dalam sejarah umat manusia karena dalam keilahianNya yang menderita, Allah melepaskan atribut, sebutan-sebutan tradisionalNya, dan minum sampai tegukkan terakhir, keputusasaan yang menyayat hati dan penderitaan kematian yang mendalam sekali. Kita lantas bertanya; mengapa Yesus harus menderita begitu hebat sampai mati di salib? Mengapa Putra Allah harus menjadi korban untuk menebus dosa-dosa kita?

Yesus menjadi korban karena cintaNya kepada BapaNya. Karena Yesus adalah korban cinta. Cinta menghendaki agar orang yang dicinta memperoleh kebahagiaan. Karena itu cinta selalu menuntut kesediaan untuk berkorban. Yesus Putra Allah mengalami penderitaan ini bukan karena suatu paksaan dari luar, juga bukan karena Ia tahluk dibawa kekuasaan dunia ini. Namun semata karena Ia taat kepada kehendak BapaNya dan rasa solidaritasnya yang tinggi kepada manusia yang dicintaiNya. Ia rela mengalami pedihnya rasa sakit dan gelapnya kematian.

Namun kita semua tahu bahwa penderitaan dan kematian di salib bukanlah akhir dari segalanya. Kita yakin dan percaya bahwa Yesus akhirnya bangkit mengalahkan kematian. Dari perspektif salib, kebangkitan Yesus harus dibicarakan dari latar salib. Kebangkitan adalah sebuah peristiwa yang sekaligus mau memperkenalkan siapa yang mati di salib. Peristiwa Kebangkitan Yesus mau hendak menyatakan kepada dunia siapa sesungguhnya yang telah mati si salib itu. Dia adalah sungguh Putra Allah. Karena hanya Allah yang dapat mengalahkan maut. Jadi melalui kebangkitanNya, Kristus menjadi antisipasi dari Allah yang akan datang, Allah yang mampu mengalahkan maut dan kematian. Dan melalui kematianNya di salib, Kristus menjadi Allah untuk kita sekarang. Allah di tengah dunia yang mematikan. Inilah makna salib bagi kita; salib adalah tanda solidaritas Kristus dengan kita. Allah yang tersalib, Allah yang tak berdaya dan menderita itu adalah Allah yang tahu betul akan penderitaan manusia, terlebih yang sering menjadi korban, dan Ia mau merasakan dan mengalami sendiri penderitaan para korban itu dengan penderitaanNya sendiri. Inilah Allah yang sungguh-sungguh berpihak pada kita. Setiap orang yang memandang salib akhirnya menyadari bahwa Kerajaan Allah yang dijanjikan Yesus memang belum secara sempurnah terwujud di dunia ini, tetapi ia tetap yakin akan memperoleh kebahagiaan kekal itu karena Yesus, yang telah bangkit, adalah jaminannya.

Di tengah dunia yang meningglkan para korban terkapar sendiri, salib menunjukan kepada kita bahwa Allah yang tersalib selalu hadir juga dalam penderitaan mereka. Marilah kita lebih jauh merenungkan perjalanan hidup kita sendiri. Apakah mungkin para korban itu salah satunya adalah kita sendiri? Sekian sering kita mungkin merasa bahwa kita telah dikianati oleh orang lain. Perjuangann hidup kita di dunia inipun sering memberitahukan kepada kita bahwa lebih banyak penderitaan kegagalan yang kita alami ketimbang kehagiaan kemenangan. Atau sekian sering kita merasa terabaikan, tak dipedulikan, tidak dianggap, sendiri, merana dan ditinggal begitu saja.

Dengan memandang salib, kita kembali diyakinkan bahwa kita tidak menderita sendirian. Yesus tetap meyertai kita karena ia sendiripun pernah mengalami betapa pedihnya penderitaan itu. Dengan membuat tanda salib kitapun percaya bahwa di dalam salib masih ada harapan akan kehidupan yang bahagia setelah salib. Harapan itu harus tetap kita hidupkan karena terus berharap kita bisa menang atas penderitaan di dunia ini. Marilah kita hidup dengan tanda salib sebagai kekuatan kita.

Kamis, 31 Maret 2011

MEA CULPA


Saya masih sangat mengingat kebiasaan baik yang selalu diteruskan dalam kehidupan bersama di seminari. Jika ada seorang penghuni asrama yang melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap aturan maupun keputusan bersama, apalagi kalau kesalahan atau pelanggaran itu sampai merugikan kepentingan umum sehingga dapat merusak tatanan bonum commune yang telah ada, maka orang itu harus meminta maaf secara publik. Tradisi ini disebut "capitulum culpae". Pelaku pelanggaran tadi secara sadar, tahu dan mau, harus berdiri di depan umum, misalnya dalam kesempatan makan bersama atau ibadat bersama, dan dihadapan saudara-saudaranya, mengakui dan menyatakan sesalnya atas pelanggaran atau kesalahan yang telah dibuatnya.

Jenis kesalahan bisa beragam. Mulai dari kesalahan-kesalahan kecil, seperti memecahkan gelas saat spullen, lupa mematikan kran kamar mandi, sampai pada kesalahan-kesalahan besar, seperti bolos dari sekolah, ketiduran sehingga tidak bisa mengikuti ibadat pagi, dan lain sebagainya.

Tentunya ada hal penting dan mendasar yang ingin ditanamkan melalui tradisi ini, yakni keadaran tiap pribadi untuk menghargai aturan dan pentingnya menjaga kelangsungan bonum commune. Tetapi juga bagi penghuni yang lain, yang mendengarkan pengakuan itu, dibiasakan untuk selalu dapat memberi pengampunan dan maaf yang tulus. Ungkapan sikap pemberian maaf yang tulus ini, sekaligus dapat memberi efek jerah yang lebih membekas pada si pelaku. Sebab si pelaku merasa ia tidak dihukum secara berlebihan, tetapi dia walaupun telah bersalah tetap menjadi bagian dari komunitasnya karena ia diterima lagi. Tentunya sanksi sesuai berat ringannya pelanggaran tetap harus ditanggung oleh si pelaku pelanggaran, tetapi semangat untuk menjalankan sanksi itu tidak lagi didasarkan atas unsur paksaan. Namun sekarang adalah semangat yang dilandasi ketulusan hati untuk mau berubah dan tidak akan mengulang kesalahan yang sama.

"Mea culpa, mea culpa, mea maxsima culpa!" Bila seseorang telah sungguh-sungguh mengakui kesalahannya dan berniat tulus untuk berubah, maka setiap kita punya kewajiban moral untuk mendukung niat baik ini. Dalam Matius 18:22, Yesus berkata : "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Inilah yang diharapkan Yesus dari setiap pengikutnya; Hati yang tidak pernah lelah untuk memberi maaf. Tangan yang tidak pernah capek untuk menyambut uluran permintaan maaf saudara kita. Memang tidak mudah memaafkan apalagi memaafkan orang yang telah begitu menyakitkan hati. Walaupun begitu bukankah akan lebih menyakitkan hati bila berlama-lama menyimpan dendam, karena akan menyesakkan dada, membuat sulit bernapas, tertekan, dan akhirnya sakit. Bila sudah begini siapa yang dirugikan?

Rabu, 30 Maret 2011

EXFRATER: FATALISME

http://zerovigo.blogspot.com

FATALISME


Ketika semua yang engkau idam-idamkan belum juga menampakan kedekatannya dengan dirimu, apakah itu karena nasib baik belum berpihak padamu? Kita selalu berdoa dan berharap dengan penuh kesungguhan hati supaya bisa dikabulkan semua harapan dan permohonan kita. Tetapi kenyataan belum memberikan jawaban yang pasti, sekali lagi, apakah ini karena kita pun sedang dipermainkan nasib? Siapa sih sebenarnya nasib itu? Sebentuk apakah benda yang namanya nasib itu? Atau kalau memang ia tak berbentuk sekalipun, tunjukanlah aku padanya. Aku ingin berhadap-hadapan dengannya.

Di mana ia sesungguhnya berada? Apakah ia ada di puncak-puncak gunung, tempat semua dewa berdiam dan mengatur ciptaan dari jauh dan mengendalikan keteraturan kosmos sekehendak hati mereka? Walaupun ia setinggi itu, tetap akan kudaki tuk minta pertagungjawabannya. Apakah ia ada di dasar lautan, tempat dewi penguasa laut bertahta dan memerintahkan samudra bergolak seturut maunya sendiri? Walaupun ia begitu tersembunyi, aku akan menyelaminya tuk mendapatkan jawaban atas semua pertanyaanku tentang dia (nasib).

Apakah ia menggantung di angkasa, tempat bintang-bingtang dan mateor membentuk tatanan galaksi?Memamerkan kemilau dan kerlingan angkuh yang meningkahi malam dengan sejuta impian kosong? Walaupun ia terlalu jauh untuk dicapai, aku akan tetap terbang ke sana. Sebab aku tidak mungkin terus berdiam diri dan membiarkan sang nasib mempermainkan hidupku.

Kelelahan karena harus mencari, menantang atau bahkan mungkin berkelahi dengannya, tidaklah seberapa membebani. Ketimbang kelelahan akibat dipimpong oleh nasib yang tak menentu. Ah, aku sudah tak sabar lagi! Ayo siapa ingin ikut bersamaku memburu sang nasib, sebelum dia akhirnya merasa menang karena mampu memperdayai kita! "Tetapi waspadalah dan berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan hal-hal yang dilihat oleh matamu sendiri itu, dan supaya jangan semuanya itu hilang dari ingatanmu seumur hidupmu. Beritahukanlah kepada anak-anakmu dan kepada cucu cicitmu semuanya itu, (uL 4:9)" sebab indra kita seringkali menipu. apa yang kita kira benar bisa saja salah, tetapi apa yang kita anggap salah mungkin benar.

Senin, 28 Maret 2011

KISAH RAKYAT DI NIGERIA


Ada tiga orang pulang dari pengembaraan mereka mengambil harta karun. Karena lelah, letih serta lapar selama menempuh perjalanan yang panjang maka mereka memutuskan untuk beristirahat. Dua di antara mereka sudah agak tua dan satunya adalah seorang anak muda. Berhubung yang dua orang itu sudah tua maka yang muda disuruh membeli makanan dan minuman untuk mereka bertiga. Saat pemuda itu pergi membeli makanan, kedua orang tua itu berencana untuk membunuhnya. Mereka berpikir, kalau harta ini dibagi bertiga masing-masing mereka akan mendapat bagian yang sedikit. Tetapi kalau dibagi berdua dapatnya akan lebih banyak. Si pemuda yang pergi membeli makanan pun, di tengah perjalanan, berpikir yang sama. karena itu setelah membeli makanan, si pemuda itu memberi racun pada makanan kedua orang tua itu. Si pemuda kembali dan mulai menyajikan makanan untuk kedua orang tua itu. Namun saat si pemuda lengah, kedua orang tua temannya itu, memukulnya hingga mati. Setelah itu dengan penuh kegembiraan mereka merayakan kemenangan mereka dengan menyentap makanan yang dibawa anak muda tadi. Akhirnya, kedua orang tua itupun mati keracunan. Akibat ketamakan ketiga orang pencari harta karun itu, tidak satupun dari mereka yang akhirnya dapat menikmati harta karun mereka yang sudah dicari dengan penuh susah payah itu.